Kamis, 25 Oktober 2012

CINTA BERKALUNG DUSTA…



CINTA BERKALUNG DUSTA…
Memang benar kata Zahra Afifah, hidup ini ibarat gubahan debu yang terbang, menari, berputar-putar, berkelebat dan melesat kemudian hilang dalam permukaan kisahku.  Apalagi untuk seorang remaja sepertiku yang terbuai dalam nuansa keidahan dunia. Terlintas hanya kedamaian yang bersinar menyerbak awan berjalanan lalu merangkak bagai lukisan kisah yang kini ku cari. Aku memakik tertahan dan suaraku hanya tertelan sorotan lampu dalam keheningan. Sepoy angin malam seakan memandikan cahaya bulan di Alun-alun, tatkala hati ini masih dicerca kepedihan. Tertawan jiwaku oleh kenyataan pahit, dan tergadai diriku oleh kebimbangan. Tuhan, adakah jiwa selain Aku yang terbang merindui musim kedamaian? Ku lihat jiwa-jwa di samping ku seakan tanpa beban duduk di mobil dengan berjuta limpahan kebebasan. Sedangkan jiwaku terbelenggu oleh kisah keluargaku, sehingga menjadi tawanan ketidakpastian.
Malam Ramadhan telah tiba, hampir dua tahun sayap-sayap jiwaku patah dan kesembuhan mulai kunjung datang. Aku bukan seorang penghitung, tapi cukup mudah bagiku mengingat dimana luka menggoresku dan derita menusukku. Kutinggalkan rumah dengan hati yang terluka, dan ku tinggalkan orang tua yang sedang terbakar oleh api kemungkaran berbalut keegoisan. Seumpamanya tidak takut dosa, sudah kulaksanakan rencana sebulan yang lalu untuk mengakhiri hidupku. Dan seandainya bukan karena Zahra anak DKM dekat rumahku, yang ucapannya senantiasa bagaikan embun di pagi yang gersang membasahi jiwaku yang kering, mungkin tubuh ini sudah hancur dimakan ulat dan diluluhkan oleh siksaan Malaikat kubur. Serta tak akan Aku mengenal-Mu.
Apabila ada anak perempuan bermata agak sipit, berambut lulus panjang, berkulit putih, memiliki lesung pipi sebelah kiri, bertinggi 170 senti dan berwajah tirus, serta berjulukan “Si Topi  Jerami” maka anak perempuan  itu adalah Aku. Febi Wahyudin namaku. Aku adalah bekas murid MAN 2 Serang Banten. Di sekolah aku selalu menjadi yang terbaik. Banyak memiliki sahabat serta banyak dipuji karena banyak prestasi. Keluargaku adalah kelurga yang berkecukupan. Bisa dikatakan bahwa keluargaku adalah termasuk keluarga yang sukses. Tidak terlalu kaya tapi cukup sukses. Dan itu semua kami dapatkan dari hasil jerih payah Ayahku menjadi seorang Petani padi di Serang Banten. Aku anak Petani padi, teman-teman di Sekolah memanggilku “Si Topi Jerami”.
Kehidupan kami hampir sempurna, Ayah dan Ibu adalah orang yang baik serta berpendidikan. Ayah selalu bersedia membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan entah berupa nasihat dalam pengelolaan padi atau dalam bentuk keuangan. Tetapi satu sikap Ayahku yang mengundang Ibu dan aku jengkel, dia sedikit genit terhadap perempuan hehe, akan tetapi semua itu tidak mencemarkan nama baiknya. Beberapa orang telah mengikuti pelatihan dengan Ayah mengalami kesuksesan menjadi Petani Padi. Termasuk Oom Herman, sahabat karib Ayahku. Dalam keadaan yang demikian itu, hari-hariku terasa indah. Aku bisa belajar dengan tekun serta bisa menikmati masa bermainku.
Demikianlah, aku dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan dan berpendidikan. Tak ada cerita duka dan kepedihan. Tak ada kisah tangis dan air mata penderitaan. Di rumah Aku adalah anak yang baik. Di sekolah, aku adalah pelajar yang menjadi juara. Dari sekian pelajar di Serang Banten ini, Akulah pelajar perempuan yang selalu menempati peringkat satu. Dan entahlah, apakah ini dinamakan sebuah keangkuhan atau watak seorang pelajar cerdas? Aku tidak peduli.
Zahra adalah teman mengaji di Masjid dekat rumah ku. Dia anak seorang DKM, keluarganya bersahaja dan santun. Dia baik dan sering sekali memberi saran padaku. Andai saran itu berwujud tali, mungkin panjangnya sudah sepanjang Pantai Anyer di Banten! Pertama aku mendengarkan sarannya, kedua kali aku mulai bosan, ketiga kali masih ku dengarkan, keempat kali sudah keluar dari telinga kiriku, dan kelima kali, aku tidak mendengarkan saran-sarannya sama sekali. Anehnya, dia tidak pernah menghentikan saran-sarannya. Ehm Aku  berterima kasih kepadanya karna selama dua tahun Aku banyak dibimbing menjadi Muslimah  yang terbaik. Apabila mengingat semua yang dikatakan Zahra, melelehlah air mataku. Bencana memang menghampiri keluargaku, bagai gelombang air bah yang menghancurkan sawah-sawah dalam kehidupanku.
Setelah lulus dari MAN, Aku berencana mengambil kuliah Keguruan di UPI Bandung. Tetapi, ketika lulus itulah, kesalah pahaman melanda keluargaku. Kisah ini bermula ketika Ibu dan Ayah ku mulai pisah ranjang serta ketika Oom Herman sahabat karib Ayahku mulai datang dalam kehidupan keluarga kami. Ketika itulah pertengkaran Ibu dan Ayah menjadi-jadi.
Sikap Ayah dan Ibu mulai berubah, tidak tergaris sedikitpun kalau mereka orang yang berpendidikan seperti dulu. Watak mereka berubah semejak Ayah dan Ibu mengenal Oom Herman.  Ayah sering tidak pulang dengan alasan banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. dalam situasi seperti ini, amarah Ibu semakin menjadi-jadi ketika Ayah pulang. Ibu semakin memaki ayah kecemburuan mulai melanda Ibu entah hasutan dari mana, sikap Ibu menjadi beringas “Bagus-bagus ya kamu sekarang! tidur dimana kamu semalam hah!
“ Haruskah engkau terus memojokanku seperti ini, Bu? Seorang istri harusnya melayani suami ketika pulang kerja seperti ini, Minimal, menyodorkan muka yang manis. Bukannya malah marah-marah tidak jelas”. Jawab Ayah sebari membantingkan tas ke lantai.
“ Tidur dengan wanita malam…..” pekik ibu.
Amarah Ayah berkobar-kobar lagi. Ayah menendang perut Ibu. Aku menjerit. Kedua Adiku semakin takut. Ku semakin menjerit. Ibu menangis keras.
Nafas Ayah masih tersegal-segal, mata ayah memerah menyala-nyala. Aku sudah tidak tahan lagi melihat Ayah dan Ibuku. pikiranku kacau. Setiap hari aku mendapati pertengkaran yang menjadi-jadi di antara kedua orang tuaku. Kemudian Aku putuskan untuk tidak melanjutkan kuliahku di Bandung. Asaku patah. Siswi yang selalu menjadi juara di Sekolah tidak bisa kuliah karna ketidak harmonisan orang tuaku. Aku takut ketika Aku kuliah di Bandung bagaimana nasib Adik kembarku yang masih kecil? Oh Tuhan tak sadar air mataku jatuh perlahan.
Oom Herman yang selalu menenangkan Ayah ketika mereka bertengkar. Aku selalu melihat Ayah tertawa saat berbincang dengannya. Ayah sudah menganggapnya adik, banyak persamaan antara Ayah dan Oom Herman terutama dalam pekerjaan. Oom Herman seorang pendengar yang baik, kisah pilu, duka dan          bahagia Ayah ceritakan kepadanya. Dari mulai sikap Ibu yang baik  dan buruk serta sikap genit terhadap lawan jenis pun Ayah ceritakan. Kepercayaan tumbuh seiringan dengan kehancuran keluargaku.
Aku pulang ke Rumah dengan hati yang masih hancur. Karna teringat keganasan Ayah berani memukul Ibu. Di ruang tamu Aku melihat Oom Herman tersenyum padaku.
“ Febi…kamu dah pulang nak..? Gimana jalan-jalannya? Tanya Oom Herman.
“ Baik Om, emmm Ayah mana Oom?
“Oh Ayah mu sedang pelatihan di Balai Desa.” Jawab Oom Herman.
“ Oom kenapa tidak mendampingi Ayah? “ Tangkas aku heran
“ Ayahmu sedang ditemani Ibumu, kebetulan Ibu mu sangat menguasai mengenai pupuk organik.  Maka Oom memeritahkan Ibumu menjadi pemateri menggantikan Oom. Mudah-mudahan itu bisa menjadi awal yang baik untuk kedua orang tua mu.” Jawabnya sebari tersenyum kepadaku.
Entah kenapa Aku malu, menuduh Oom Herman sebagai biang kerok keluargaku. Seketika Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih  kepada Oom Herman.
Semejak Oom Herman tinggal bersama kami, Ayah Ibu ku sudah tidak bertengkar lagi. Mereka berdua mulai rukun seperti dulu. Aku senang melihatnya, perhatian Ibu kepada Ayah mulai tumbuh kembali. Begitu pun Ayah bisa meredam amarah terhadap Ibu. Oom Herman sangat berpengaruh dalam kehidupan kami. Tidak terasa 1 tahun kami tinggal bersama Oom Herman dengan harmonis. Tidak ada pertengkaran dan goresan luka yang berkoar dalam rumahku.
Aku sekarang mengikuti pelatihan Komputer di sebuah komunitas yang dibangun oleh Oom Herman. Sudah setengah tahun aku mengikuti pelatihan ini. Akhirnya aku mulai berkeinginan memiliki Standt Fotho permanen di daerah Tenggerang. Tidak terlitas sedikitpun Aku ingin melanjutkan kuliah. Aku sangat menyukai duniaku sebagai pecetak fotho. Akhirnya aku diberikan sebuah bangunan percetakan di Kampung Melayu Banten. Cukup minimalis tetapi sangat nyaman dan ramai. Aku mempunyai dua karyawan. Seorang Fotho Gerafer dan Kasir. Aku bahagia, ehm selintas Aku teringat Zahra yang ingin sekali melihatku cumlaud menjadi serjana Pendidikan. Serta Adik kembarku yang kini Ayah titipkan di Asrama Al-Bidayah Cangkorah di Bandung. Maklum Adik kembarku tidak mau sekolah di Banten, mereka ingin menjadi anak perantau.
Malam itu tiba-tiba saja Aku rindu kepada Ayah dan Ibuku. Bergegaslah Aku untuk. Kemudian aku berangkat dengan menggunakan Motor kesayanganku. Walau perjalanan ini jauh, tapi keringat ini tidak akan menahan kerinduan terhadap orang tuaku.
Setibanya Aku di gerbang rumah, sengaja Aku tidak memberitahukan kepulangan kepada Ibu. Karna aku ingin memberinya kejutan, yah kejutan bahwa anaknya sudah sebulan tidak bertemu Aku merindukan Ibuku. Saat ku berjalan pelan tiba-tiba pintu terbuka, bergegaslah Aku masuk. Astagfirulloh Aku dapati Ibu dan Oom Herman sedang bercumbu mesra di ruang tamu. Baju Ibu tergeletak di lantai dan tangan Oom Herman merayap di tubuh Ibu. Dengan nikmat keduanya mendesah dan berucap sayang. Aku menangis melihat kelakuan Ibu dan Oom Herman. Sementara keduanya tidak menyadari bahwa Aku ada menyaksikan perbuatan asusila mereka. Tak tahan Aku menyaksikan perbuatan jijik mereka, Aku pun menjerit. Seketika Ibu menengok ke arahku dengan telanjang dada.
“Feeebii…! kau pulang nak?” ujar Ibu dengan gugup sebari berusaha mengenakan pakaiannya kembali.
“Ibu dan Oom Herman dasar biadab…biadab…Aku benci Ibu dan Oom Herman..”
“Tenang nak…Ibu akan menjelaskan …”
“Tidak ada yang meski di jelaskan bu…perbuatan kalian biadab! Kamu…Om, tidak menyangka kau jahat. Apakah kau sudah lupa jasa Ayahku yang menganggapmu seperti adik sendiri. Ayah sudah percaya, tapi kau malah mengambil Ibu..”, Aku menangis menjadi-jadi, Aku menjerit. Pikiranku kacau. Berbagai Aplikasi Computer, Rumus Matematika, Unsure-unsur Kimia, Kosa Kata Bahasa Indonesia, dan semua mata pelajaran yang kuhafal sedikitpun tidak bisa menolong kekacauan pikiranku. Sedikitpun tidak berguna sama sekali.
Tiba-tiba Ayah pulang “ada apa…ada apa ini Bu? Man ada apa ini? kenapa anak ku?” , dengan panik Ayah bertanya sebari menghampiri Aku yang menjerit-jerit.
Tetapi tidak ada yang menjawab. Ibu hanya menangis tersedu, sedangkan Oom Herman diam membeku seolah ruh dan raganya terpisah.
Suara Ibu memecah kengiluan dalam keheningan.
“Ayah maafkan Ibu…maafkan Ibu yah..”
Aku dengan sekuat tenaga memaki ibu “ I..bu dan Oom.. Herman se..selingkuh Ayah..Cinta Ibu palsu. Ibu tidak mencintaiku!!” diiringi dengan tangis dan terbata-bata Aku menjelaskannya dan memaki Ibu. Kujambak rambutku. Ku bentur-bentur kepalaku ke dingding. saat ku dengar …
plak,plak,plak…
Kubenturkan kembali kepalaku dengan keras , dan pada benturan yang terakhir Aku sudah tidak ingat apa-apa.
            Dua hari Aku diopname di Rumah Sakit UMUM DAERAH SERANG . Saat Aku sadar, Aku melihat Ayah duduk di samping pembaringan, tanpa Ibu dan Oom Herman. Kepada Ayah Aku bertanya , “Ibu mana?”
Ayah mendesah. “Di rumah Nenek mu,”
Aku ingin bangkit dari pembaringan , tapi Aku tidak kuat. Ayah memintaku untuk tetap berbaring. Ayah menawariku bubur yang disediakan Perawat rumah sakit. Aku menggelenkan kepala. Ketika Aku sadar, yang ku ingat hanyalah hubungan Ibu dan Oom Herman.
“ Ibu meninggalkan kita, Febi. Maafkan Ayahmu…”
Aku menangis menjadi-jadi saat Ayah menceritakan bahwa Ibu dan Oom Herman sejak masih kuliah mereka memiliki hubungan khusus, ketika Ibu dijodohkan oleh Nenek dengan Ayah, mereka berdua berpisah. Puluhan tahun mereka tidak bertemu hampir 20 tahun Ayah dan Ibu berkeluarga, tiba-tiba Ayah bertemu Oom Herman kami bersahabat akrab entah itu dalam pekerjaan atau masalah pribadi. Waktu itu ayah tidak tau Oom Herman adalah mantan kekasih Ibu ku. Ternyata setahun yang lalu keharmonisan keluarga ku hancur karna Oom Herman selalu menceritakan keluhan Ayah terhadap ibu. Semuanya dia ceritakan kepada Ibu ku bahwa ayah bla bla bla…, sandiwara selama setahun kini terbongkar dalam asa yang pedih dan kehancuran yang menusuk jiwaku. Kebencian menggerogoti hatiku saat kudapati Ibu dan Oom herman sedang mencubu. Dan ternyata penyebab Ayah sering tidak pulang karena Ayah telah menikah lagi dengan perempuan seusiaku.
Semejak kejadian itu , Aku tidak perna melihat Ibu atau pun Ayah setra adik kembarku. Karna ketika Aku dirawat dulu, ku paksakan diri untuk bangkit  dan pergi jauh sejauh kaki melangkah. Hati ini semakin sedih dan tertekan. Aku sudah berniat untuk pergi. Aku pedih, hatiku hancur.  Jiwaku robek-robek . Sudah dua bulan Aku meninggalkan rumah tanpa arah.Dan sekarang Aku ada di Pasir Cina Cianjur.
Sepi. Sunyi. Hanya Nisan-nisan teman sejati. Berpadu dengan pepohonan dan harum melati. Terkadang menderu angin yang berhembus, menjatuhkan beberapa daun beringin dari tangkainya. Aku tidak ingin pergi kemana-mana kecuali berada di atas kuburan ini. Disini lah Aku merasa  lengkap sudah deritaku . Disini pula Aku sadar sia-sia semua yang telah Aku alami selama ini. Sia-sialah Aku pernah menjadi Siswi yang paling cerdas, dan selalu menjadi juara di Sekolah.
Sia-sialah belajarku. Sia-sialah semua usahaku. Setelah semua ku lakukan pada akhirnya derita hidup yang kudapatkan. Ketika Aku akan mengakhiri hidupku, sesosok perempuan menghampiriku kemudian memanggilku.
“Febii…apa yang kamu lakukan! lepaskan !!”
“Zahra sedang apa kau di sini? hidupku tidak berguna Ayah dan Ibuku terjalin cinta yang terlarang sehingga membiarkanku tak tentu arah…”, Aku menangis tersedu-sedu.
“Ingat Febii, Ingat Alloh…Ingat kau masih punya Aku..Aku akan membantumu. Aku janji Aku dan keluargaku akan menjagamu…ayo lepaskan tali itu..!!!”, sentak Zahra sebari berusaha menariku.
Aku masih menggenggam tali itu kuat-kuat pada leher. Sementara Zahra terus beristigfar menyadarkanku. Spontan Aku pun turun dan memeluk Zahra temanku di pengajian dulu.
Sekarang Zahra tinggal di Pesantern Pasir Cina Cianjur. Dia mengajakku untuk mengenal Alloh senantiasa beribadah dan mengajaku menutup aurat. Hingga kini Aku menjadi seorang muslimah.  Aku mencoba membongkar kemudian ku kubur semua kisah pahit  masa lalu dengan lapang dada. Aku berencana untuk pulang ke rumah Ayah dan kerumah Ibu untuk memohon maaf dan mengisi moment bulan yang dinantikan umat islam sedunia bulan Romadhon bersama. Walupun mereka terpisah akan tetapi mereka tetap kedua orang tuaku.
“Serang…Serang…Serang Banten…silahkan Bu…itu duduk di samping masih kosong..”, sahut kenek mobil bus yang kini ku tumpangi.
Lamunan ku buyar ketika mobil merangkak naik di Alun-alun Cianjur. Kulihat kursi masih banyak yang kosong. Dengan mobil ini, Aku akan pulang lagi ke Serang Banten. Bersua dengan orang-orang yang ku cintai.
Terbayang jelas wajah Ibuku, Ayahku, dan Adik kembarku. Mengingat hal ini, secuil hatiku  dilimpahi kegembiraan. Apalagi, di bulan Romadhon ini aku akan mengajak mereka untuk berkunjung ke Pesantern Zahra tempat Aku tinggal. Namun, cuilan hatiku yang lain masih diliputi duka. Duka yang hampir sempurna. Serang telah kutinggalkan dengan beribu-ribu kenangan. Namun semuanya akan ku gibas dengan hati lapang. Aku akan menerima Oom Herman menjadi Ayah baruku, begitupun istri Ayah akan ku terima menjadi Ibu baruku…Kuatkan diriku untuk selalu bersabar kepada-Mu…


Writing Competition ini merupakan salah satu rangkaian acara dari Indonesia Muslimah Fest bekerjasama dengan FLP Bandung. Ikuti lomba & Audisi lainnya seperti Lomba Menyanyi, Model Muslimah, Rancang Hijab dengan Hadiah Utama Tour Eropa, Asia dan Umroh juga Hadiah Ratusan Juta lainnya. Informasi lebih lanjut dapat diakses melalui:
web   
          : www.festivalmuslimah.com
Twitter    
 : @MuslimahFest
Fb                 : www.facebook.com/FestivalMuslimah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar