The
Love Sheep Paver
Aku melihat seorang anak laki-laki berjalan sambil menggandeng seorang
gadis kecil dengan tangannya. Anak itu bersemangat sekali menggandengnya
melewati sebuah jalan setapak panjang. Sementara, si gadis hanya
tersenyum-senyum kecil dalam genggaman itu sambil kuat-kuat memegangi dua buah
perahu kertas yang ada di tangannya itu.
Beberapa detik berlalu, kemudian anak laki-laki
tadi melepaskan gengamannya dan segera berlari, disusul si gadis kecil. Mereka
berlari-lari kecil kesebuah sungai lebar yang
memanjang di depan mereka. Setelah memberikan sebuah perahu kertas kepada anak
laki-laki tadi, gadis itu memejamkan matanya. Tangannya memeluk perahu
kertasnya di depan dada. Samar-samar ia membisikan sesuatu, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas.
“Aku ingin selalu bersama Kak
Doni selamanya, jagalah senyum dia, agar aku selalu bisa melihatnya bahagia. Sampaikan harapan ini kepada
Tuhan ya,, biar dia mendengarku”, ucapnya lalu membuka
mata.
Kini anak laki-laki itu juga ikut menutup mata, ia mengambil perahu kertasnya
sambil membisikan sesuatu tapi, kali ini tak bisa aku
dengar. Kemudian, ia membuka matanya, lalu tersenyum manis kepada si gadis.
“Sudah siap? Ayo kita alirkan perahu kertas kita” , katanya sebari
mengajak si gadis berjongkok.
Pelan-pelan mereka menghanyutkan dua
perahu kertas ke dalam aliran sungai. Perahu kertas itu cepat menyerap air
hingga kehilangan keseimbangan, keduanya sama-sama terlihat ringkih terbawa arus kesana-kemari.
Dua perahu itu, sama-sama mengandalkan arus air sebagai roda dan terpaan angin sebagai kemudinya.
* * *
Selama hampir enam tahun Sungai Musi menjadi tempat kenangan aku dengan
dia. Sungai yang mengalir sepanjang kota Palembang itu berhulu di gugusan Bukit
Barisan dan bermuara di tepian Pantai Timur Sumatra Selatan atau Tanah Sembilan Sungai karena ada Sembilan sungai kecil yang menjadi
anak Sungai Musi.
Aku adalah Fina Daniati, seorang anak yang kehilangan
semua keluargaku. Kak Doni lah yang senantiasa membantuku ketika aku terpuruk
dalam kepahitan hidup.
Dia
lah laki-laki yang pertama aku jumpai, dia pula laki-laki yang ingin selamanya
singgah di hatiku.
Apakah
aku telah menyukai Kak Doni? Ah entahlah waktu itu aku masih sangat dini untuk
mengenal cinta, yang ku tau bahwa aku tak ingin kehilangan dia.
Di
sungai inilah kami bertemu. Saat aku
merintih menangis mengadu pada Tuhan, tapi bukan berdo’a. Saat itu langit tetap
saja dengan cakar-cakarnya membiarkan aku sendirian dalam kesedihan.
Baling-baling angkasa terus berputar dan malam pun tiba menyisakan kesunyian
saat tubuh-tubuh terlelap dari kelelahannya.
Namun,
terdengar sayup-sayup seorang anak remaja membasuh muka di Sungai Musi tepat di
sebelah ku. Dia spontan menolehku kemudian menyapaku.
“De
kenapa kamu menangis malam-malam begini? Kemana Orang Tua mu...?”
Aku tak
menghiraukannya, aku menangis lalu menjerit. Seakan pertanyaan itu membuatku
semakin merasa terpuruk dalam kesepian. Sempat aku mencoba membuka tanganku
untuk melihat laki-laki di sebelahku itu. Namun samar-samar aku melihatnya,
karena air mata yang sedari tadi mengalir membuat mataku seperti orang Cina,
bengkak dan sipit.
Laki-laki
itu mengulang kembali pertanyaan yang serupa. Namun tetap saja aku menagis.
Tak
lama tangan laki-laki itu mengeluarkan bungkusan yang sedari tadi singgah di
kantung plastik miliknya. Kemudian dia menyodorkan sebungkus nasi kearah
taganku. Aku terdiam, seakan isak tangis
yang mengguncangku meledak terhenti. Tanganku spontan melayang mengambil
bungkusan itu, kemudian memakannya. Duh
saat itu rasa malu ku seakan hilang
dengan wajah polos yang menampakan keluguhan bahwa aku sangat lapar. Yah
seperti itu aku dulu.
Laki-laki
itu hanya melihat dan tersenyum padaku.
“Oh...ternyata
kamu lapar ya de? Aku heran kenapa malam-malam begini kamu di sini?
Tidak
takut kah Kau , di Kota Palembang anak
perempuan sedang rawan untuk di jadikan pekerja di jalanan...”, Ujarnya dengan
heran.
Aku
masih terdiam tak peduli. Hanya isi bungkusan itu yang kini memusatkan
pikiranku.
“Aku
Doni, anak pengembala di Sungai Musi ini. Nama mu siapa?”
Ingin
aku mengucapkan sesuatu, akan tetapi mulutku membungkam bisu. Ku keluarkan
kertas di genggamanku, kemudian aku menulis namaku.
“Fina Daniati”
“Oh...Nama
mu Fina, nama yang bagus. Kenapa kamu di sini? Kemana orang Tua mu?”
Dengan
bahasa Isyarat, aku menjelaskan. Pelan-pelan melalui tanganku.
“Aku di buang keluargaku, Ibu dan Ayahku
meninggal karena kecelakaan. Aku tidak tau harus kemana. Aku bingung. Aku
sendiri, bantu aku....”
“Apa?
Aku tak mengerti bahasa mu maafkan aku...,tapi tak apalah aku bisa belajar . Kamu
mau menjadi temanku?” ,Ujarnya dengan sambutan hangat.
Aku
mulai tersenyum bahagia, ku lipat kertas yang sedari tadi digengamanku kemudian
ku bentuk sehingga menjadi perahu kertas yang rapih. Ku menatap perahu kertas
buatanku, lalu memberikannya kepada anak laki-laki yang baik itu, dengan senyum
tanda berterima kasih.
Nah,
begitulah awal aku mengenalnya.
Sampai
sekarang Sungai Musi merupakan kaset yang mengeluarkan berjuta episode antara
aku dan Kak Doni.
Oh
Tuhan...aku tahu pasti, setiap hari anak laki-laki dan gadis itu tak pernah
absen mengunjungi sungai ini. Setiap hari, anak laki-laki itu menggandeng gadis
itu dengan tangannya, mereka berlari-lari ke Sungai. Kemudian, mereka mengucapkan satu harapan yang
berbeda-beda, lalu mengalirkan perahu kertas mereka di aliran sungai. Dan, kami
percaya, perahu-perahu itu akan menyampaikan harapan-harapan mereka kepada
Tuhan.
Si
gadis kecil sangat bahagia tinggal bersama Kak Doni, walaupun rumah yang mereka
singgahi hanya berselimutkan langit yang berbintang dan semilir angin alam
membelai setiap harinya. Akan tetapi semuanya tidak menjadi permasalahan
bagiku. Yang terpenting kami bisa makan, tersenyum dan senantiasa mengingat
sang pencipta kami.
***
Saat
Fajar mulai menggeliat, menanggalkan selimut semesta. Ayam jantan kumandangkan
panggilan suci, anak-anak kecil buktikan dongeng sang bunda dalam tidurnya,
saat itulah aku menggulungkan tikar tempat aku terlelap.
Ehm...aneh
saat aku bangkit kemudian meranjak menuju mesjid, aku tak melihat Kak Doni.
Selesai
Sholat Subuh, aku mulai pergi Sungai Musi membawa sebuah perahu yang cantik
dengan pesan yang tertulis di dindingnya
dan berharap Kak Doni di sana menatap lukisan alam yang mempesona.
Namun,
ku tak menemukannya. Aku jadi teringat, kemarin sepulang melakukan kegiatan
rutin di stopan lampu merah. Kak Doni sedang sibuk melipat-lipat dua lembar
perahu kertas.
Ya,
dia membuat dua buah perahu kertas.
“Fina,
mungkin ini perahu kertas terakhir kita. Kau mau membantuku mengalirkannya di
Sungai Musi?”
Pelan-pelan
aku mengangkat kepalaku. Aku meraih dua buah perahu kertas yang sudah di buat
Kak Doni itu.
Sampai
di depan aliran Sungai Musi yang bening, dua bocah itu bersamaan memejamkan
mata dan memeluk perahu kertas mereka di depan dada. Ingin ku katakan sesuatu
namun mulut ini membungkam. Aku seorang gadis kecil tuna wicara, yang hanya
berkomunikasi lewat tulisan dan lewat bahasa isyarat. Sudah hampir enam tahun
aku mengenal Kak Doni tapi, dia masih belum mengerti bahasa ku.
Ku
coba bertatanya padanya.
“Kak Doni, kenapa kau bilang perahu kertas
ini terakhir? Kau mau kemana?”
Kak
Doni hanya tersenyum. Kemudian, meninggalkan gadis itu. Entah permainan apa
yang sedang mereka rencanakan. Yang ku lihat, sampai sekitar sepuluh menit
setelah Kak Doni pergi, aku masih tetap
berdiri di tempatnya. Ia menunggu sebuah perahu kertas dengan sebuah pesan yang
di tulis di dinding luarnya.
Aku
sudah menunggu lama, tetapi perahu kertas Kak Doni belum muncul juga. Setitik
air kemudian turun dari permukaan langit, jatuh tepat di wajah ku.
Aku
mulai gelisah karna perahu kertas Kak Doni belum muncul juga. Aku hendak
berteduh, namun masih penasaran dengan sebuah pesan yang ditulis Kak Doni.
“Fianaaa....ayuk
pulang...hujan sebentar lagi deras....”
Suara
itu tidak asing bagiku, ku mencoba mencari asal suara itu. Ku dapati Kak Doni
yang memanggil ku dengan memainkan tangannya dengan gesit.
Aku
pun tersenyum, cepat-cepat aku berlari
menghampiri arah suara itu.
“ Ayo
kita pulang Fin...! “ , kata Kak Doni sambil memegang tanganku.
Aku
berusaha menahan Kak Doni . “Kak Doni,
tolong jangan dulu pulang. Aku ingin tau apa yang kau tulis di perahu itu
untuku”.
Kak
Doni tersenyum manis sambil berkata “
Fina, Kak Doni buat yang baru untukmu, nanti setelah kau bangun akan ku buatkan
perahu kertas yang cantik”, sahut dia
sebari mengajak ku untuk berlari cepat sebelum air di langit menghujam mereka.
Nah
itulah terakhir kali aku melihat Kak
Doni. Sekarang sudah hampir tengah hari Kak Doni belum jua aku temuin.
“Duh Tuhan...harus kemana aku mencarinya...”
Aku
gadis kecil yang lugu, menantinya kembali
pulang. Air mata ini terus
mengalir , menangis selayaknya anak kecil yang kehilangan induknya.
Ku
berusaha bertanya kepada semua orang yang ku kenal, namun hasilnya nihil.
Emmm
andai saja aku bisa membaca tulisan waktu
itu, namun aku tak bisa membaca.
Selama enam tahun kami hanya tahu bagaimana aku dan Kak Doni bisa bertahan
hidup.
Sudah
larut malam, namun aku masih menunggunya pulang. Tak ada dia, sendiri sambil
menangis. Waktu itu aku merasa seorang gadis yang di tinggal oleh dunia. Di tingagalkan keluarga membuatku perih untuk mengarungi kisah , dan
sekarang Kak Doni tega meninggalkan aku sendiri di tengah kisah yang entah
harus ku langkahkan kemana kaki yang sebatang kara ini.
“Aku membenci Kak Doni, sangat membencinya”. Sambil menangis keras. Tak peduli dengan
orang-orang yang lalu lalang di pinggir Sungai Musi. Kemudian sesak nafas ku kambuh aku menjerit
kesakitan, nafasku seakan tersedak-sedak. Pada saat itulah aku tidak mengingat apa yang
selanjutnya terjadi. Yang ku ingat hanya ruang putih yang beraromakan obat,
dengan kedua orang separo baya. Yang
sampai sekarang ini mereka merawatku dengan baik layaknya orang tua kepada
anaknya.
Mereka
menyekolahkanku, dan saat ini, aku Kuliah di Universitas Indonesia di Jakarta
jurusan Seni Lukis. Mereka tidak memandang kelemahanku yang tuna Wicara. Namun
mereka memberiku motifasi yang tinggi untuk senantiasa bisa mengarungi kisah di
Era Globalisasi ini. Mereka memberiku
rumah sederhana bertempat di Jakarta yang terbuat dari kayu sangat unik dan menarik dengan taman yang
berhiaskan bunga-bunga cantik nan indah. Banyak sekali pengunjung yang sesekali
menatap lukisan ku. Rumah itu aku berinama “The
House Sheep Paver”. Terkadang beberapa turis ingin membelinnya untuk
dijadikan buah tangan. Aku sangat senang dan sangat berterima kasih kepada Kedua Orang tua
angkatku.
Hampir
semua lukisan yang ku buat menceritakan perjalanan kisah kecilku di Sungai Musi
dengan Kak Doni.
Seakarang
aku tau, pesan Kak Doni untuk ku di perahu kertas yang sampai saat ini masih
aku genggam.
From: Fina
“Entah apa yang terjadi hari ini, semuanya
samar terasa sakit. Ketika segalanya indah, kini ku terbentur lagi oleh
penyakitku merana dan sakit sekali. Tak ada angin dan tak ada air tuk
membantuku. Mungkin ini salahku karena tidak mempedulikan penyakitjku
ini....Aku ingin sembuh, namun menurut Dokter waktuku tinggal sehari lagi.
Hati ini remuk, terbuai oleh api
ketakutan. Bukan ketakutan untuk
meninggal , melaikan .ketakutan kehilangan kamu. Selama enam tahun ku bersama
mu...kini aku harus pergi hanyut bersama perahu kertas.
Duh Gusti, pahami hamba-Mu ini. Aku hanya
ingin berucap kepada Fina untuk
senantiasa bersandung sayang, terlimpah cinta serta beraromakan
kelembutan untuku.
Kesakitan penyakitku ini selalu membuatku
lemah. Mungkin terasa aneh, usia ku yang 17 tahun menyukai anak seusia 11 tahun.
Namun rasa cinta ini membutakan aku untuk
terus bersua dalam hatimu, menari lalu bersemayam di sarang hatimu.
Gubahannya teramat berasa, entahlah dengan
cara apa aku menikmatinya. Air mata ini selalu terbuang di pasir-pasir yang
asing, melayang memikirkanmu setelah aku meninggal kelak.
Andai aku boleh memilih ya Alloh, aku ingin
tetap hidup di hatinya, walaupun tidak dapat memilikinya.
Ijinkan aku untuk menjadi bunga di hatinya,
senantiasa menjaganya, menatap matanya, serta bersenandung kasih di jiwanya.
Mudah-mudahan dengan kamu tinggal di Rumah
ku. Kau akan senatiasa merasa aman. Orang tua ku sangat baik, hanya saja aku bodoh,
ingin meninggalkan mereka di perantauan Palembang menjadi seorang pengamen.
Emmm, tapi aku senang bisa bersamamu menikmati keindahan sungai Musi.
Oh Tuhan ijinkan bunga ini selalu bersama
akarnya, biarkan bunga ini tumbuh cantik nan indah.Dan aku mohon Ya Alloh
jangan sampai akarnya mati. Karna tidak akan ada lagi bunga yang indah nan
cantik menemani setiap episode kisahnya. Walupun tak ada aku di sampingnya,
namun helaian kisahnya ada di kaset kenanganku.
Fina...Kak Doni bahagia dan Kak Doni yakin kamu
bisa menikmati hidup ini dengan kekurangan dan kelebihan kamu. Jangan mengeluh
dengan kekurangan mu itu. Kamu memiliki kelebihan yang luar biasa namun kau
belum menyadarinya.
Aku sayang kamu Fina...
Dear, Doni Permana Jaya
“Fina,
ini pemakaman Doni. Ibu sengaja tidak
memberitahumu karna pemintaan Doni terakhir, agar kamu tidak sedih nak...,
maafkan Ibu”, Ujar Ibu menjelaskan.
Lamunanku
buyar tersentak hatiku mendengar suara
Ibu. Tak terasa perlahan air mataku mengalir menetesi perahu kertas Kak Doni
yang kini ku genggam.
Ku
menatap gundukan pasir berbalut kramik memperindah pemakamannya di hiasi papan
misan dengan nama “Doni Permana Jaya bin Permana”, serta bunga kamboja putih
mempercantik makam Kak Doni.
“Terima kasih Kak Doni, aku juga sangat
menyayangimu. Maafkan aku telah membencimu dulu. Kini aku di hadapanmu untuk
berdo’a, aku yakin Kak Doni pasti bahagia di sana bersama Alloh...Fina sayang
Kak Doni, seperti Kak Doni sayang Fina. Kak Doni sekarang Fina sudah besar, dan
Fina tiada henti membaca pesan Kak Doni, Fina rindu Kak Doni, sangat rindu. Kak., Besok Fina akan menempuh hidup baru, menjalani
kehidupan baru dengan orang yang sayang ke Fina, dan orang tua Kak Doni.
Emmm, Kak Doni maafkan Fina. Fina berjanji
akan menghanyutkan perahu kertas ini bersama orang yang Fina cintai. Akan ku
kenalkan dia dengan keindahan Sungai Musi.
Fina lukiskan kisah kita berdua di rumah kecil
Fina.
Kak Doni Fina pamit dulu. Fina sayang Kak
Doni..”.
Allahma Salli ‘aumla syaidina
Muhammad wa aali syaidina Muhammad
…By…UMRISTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar