Selasa, 16 Oktober 2012

Cerpenku



The Love Sheep Paver


Aku melihat seorang anak laki-laki berjalan sambil menggandeng seorang gadis kecil dengan tangannya. Anak itu bersemangat sekali menggandengnya melewati sebuah jalan setapak panjang. Sementara, si gadis hanya tersenyum-senyum kecil dalam genggaman itu sambil kuat-kuat memegangi dua buah perahu kertas yang ada di tangannya itu.
Beberapa detik berlalu, kemudian anak laki-laki tadi melepaskan gengamannya dan segera berlari, disusul si gadis kecil. Mereka berlari-lari kecil kesebuah sungai lebar yang memanjang di depan mereka. Setelah memberikan sebuah perahu kertas kepada anak laki-laki tadi, gadis itu memejamkan matanya. Tangannya memeluk perahu kertasnya di depan dada. Samar-samar ia membisikan sesuatu, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas.
“Aku ingin selalu bersama Kak Doni selamanya, jagalah senyum dia, agar aku selalu bisa melihatnya bahagia. Sampaikan harapan ini kepada Tuhan ya,, biar dia mendengarku”, ucapnya lalu membuka mata.
Kini anak laki-laki itu juga ikut menutup mata, ia mengambil perahu kertasnya sambil membisikan sesuatu tapi, kali ini tak bisa aku dengar. Kemudian, ia membuka matanya, lalu tersenyum manis kepada si gadis.
“Sudah siap? Ayo kita alirkan perahu kertas kita” , katanya sebari mengajak si gadis  berjongkok.
Pelan-pelan mereka menghanyutkan dua perahu kertas ke dalam aliran sungai. Perahu kertas itu cepat menyerap air hingga kehilangan keseimbangan, keduanya sama-sama  terlihat ringkih terbawa arus kesana-kemari. Dua perahu itu, sama-sama mengandalkan arus air sebagai roda dan terpaan angin sebagai kemudinya.
* * *
Selama hampir enam tahun Sungai Musi menjadi tempat kenangan aku dengan dia. Sungai yang mengalir sepanjang kota Palembang itu berhulu di gugusan Bukit Barisan dan bermuara di tepian Pantai Timur Sumatra Selatan atau Tanah Sembilan Sungai karena ada Sembilan sungai kecil yang menjadi anak Sungai Musi.
Aku adalah Fina Daniati, seorang anak yang kehilangan semua keluargaku. Kak Doni lah yang senantiasa membantuku ketika aku terpuruk dalam kepahitan hidup.
Dia lah laki-laki yang pertama aku jumpai, dia pula laki-laki yang ingin selamanya singgah di hatiku.
Apakah aku telah menyukai Kak Doni? Ah entahlah waktu itu aku masih sangat dini untuk mengenal cinta, yang ku tau bahwa aku tak ingin kehilangan dia.
Di sungai inilah  kami bertemu. Saat aku merintih menangis mengadu pada Tuhan, tapi bukan berdo’a. Saat itu langit tetap saja dengan cakar-cakarnya membiarkan aku sendirian dalam kesedihan. Baling-baling angkasa terus berputar dan malam pun tiba menyisakan kesunyian saat tubuh-tubuh terlelap dari kelelahannya.
Namun, terdengar sayup-sayup seorang anak remaja membasuh muka di Sungai Musi tepat di sebelah ku. Dia spontan menolehku kemudian menyapaku.
“De kenapa kamu menangis malam-malam begini? Kemana Orang Tua mu...?”
Aku tak menghiraukannya, aku menangis lalu menjerit. Seakan pertanyaan itu membuatku semakin merasa terpuruk dalam kesepian. Sempat aku mencoba membuka tanganku untuk melihat laki-laki di sebelahku itu. Namun samar-samar aku melihatnya, karena air mata yang sedari tadi mengalir membuat mataku seperti orang Cina, bengkak dan sipit.
Laki-laki itu mengulang kembali pertanyaan yang serupa. Namun tetap saja aku menagis.
Tak lama tangan laki-laki itu mengeluarkan bungkusan yang sedari tadi singgah di kantung plastik miliknya. Kemudian dia menyodorkan sebungkus nasi kearah taganku.  Aku terdiam, seakan isak tangis yang mengguncangku meledak terhenti. Tanganku spontan melayang mengambil bungkusan itu, kemudian memakannya.  Duh saat itu rasa  malu ku seakan hilang dengan wajah polos yang menampakan keluguhan bahwa aku sangat lapar. Yah seperti itu aku dulu.
Laki-laki itu hanya melihat dan tersenyum padaku.
“Oh...ternyata kamu lapar ya de? Aku heran kenapa malam-malam begini kamu di sini?
Tidak takut kah Kau , di Kota Palembang  anak perempuan sedang rawan untuk di jadikan pekerja di jalanan...”, Ujarnya dengan heran.
Aku masih terdiam tak peduli. Hanya isi bungkusan itu yang kini memusatkan pikiranku.
“Aku Doni, anak pengembala di Sungai Musi ini. Nama mu siapa?”
Ingin aku mengucapkan sesuatu, akan tetapi mulutku membungkam bisu. Ku keluarkan kertas di genggamanku, kemudian aku menulis namaku.
“Fina Daniati”
“Oh...Nama mu Fina, nama yang bagus. Kenapa kamu di sini? Kemana orang Tua mu?”
Dengan bahasa Isyarat, aku menjelaskan. Pelan-pelan melalui tanganku.
“Aku di buang keluargaku, Ibu dan Ayahku meninggal karena kecelakaan. Aku tidak tau harus kemana. Aku bingung. Aku sendiri, bantu aku....”
“Apa? Aku tak mengerti bahasa mu maafkan aku...,tapi tak apalah aku bisa belajar . Kamu mau menjadi temanku?” ,Ujarnya dengan sambutan hangat.
Aku mulai tersenyum bahagia, ku lipat kertas yang sedari tadi digengamanku kemudian ku bentuk sehingga menjadi perahu kertas yang rapih. Ku menatap perahu kertas buatanku, lalu memberikannya kepada anak laki-laki yang baik itu, dengan senyum tanda berterima kasih.
Nah, begitulah awal aku mengenalnya.
Sampai sekarang Sungai Musi merupakan kaset yang mengeluarkan berjuta episode antara aku dan Kak Doni.
Oh Tuhan...aku tahu pasti, setiap hari anak laki-laki dan gadis itu tak pernah absen mengunjungi sungai ini. Setiap hari, anak laki-laki itu menggandeng gadis itu dengan tangannya, mereka berlari-lari ke Sungai.  Kemudian,  mereka mengucapkan satu harapan yang berbeda-beda, lalu mengalirkan perahu kertas mereka di aliran sungai. Dan, kami percaya, perahu-perahu itu akan menyampaikan harapan-harapan mereka kepada Tuhan.
Si gadis kecil sangat bahagia tinggal bersama Kak Doni, walaupun rumah yang mereka singgahi hanya berselimutkan langit yang berbintang dan semilir angin alam membelai setiap harinya. Akan tetapi semuanya tidak menjadi permasalahan bagiku. Yang terpenting kami bisa makan, tersenyum dan senantiasa mengingat sang pencipta kami.
***
Saat Fajar mulai menggeliat, menanggalkan selimut semesta. Ayam jantan kumandangkan panggilan suci, anak-anak kecil buktikan dongeng sang bunda dalam tidurnya, saat itulah aku menggulungkan tikar tempat aku terlelap.
Ehm...aneh saat aku bangkit kemudian meranjak menuju mesjid, aku tak melihat Kak Doni.
Selesai Sholat Subuh, aku mulai pergi Sungai Musi membawa sebuah perahu yang cantik dengan pesan yang tertulis di dindingnya  dan berharap Kak Doni di sana menatap lukisan alam yang mempesona.
Namun, ku tak menemukannya. Aku jadi teringat, kemarin sepulang melakukan kegiatan rutin di stopan lampu merah. Kak Doni sedang sibuk melipat-lipat dua lembar perahu kertas.
Ya, dia membuat dua buah perahu kertas.
“Fina, mungkin ini perahu kertas terakhir kita. Kau mau membantuku mengalirkannya di Sungai Musi?”
Pelan-pelan aku mengangkat kepalaku. Aku meraih dua buah perahu kertas yang sudah di buat Kak Doni itu.
Sampai di depan aliran Sungai Musi yang bening, dua bocah itu bersamaan memejamkan mata dan memeluk perahu kertas mereka di depan dada. Ingin ku katakan sesuatu namun mulut ini membungkam. Aku seorang gadis kecil tuna wicara, yang hanya berkomunikasi lewat tulisan dan lewat bahasa isyarat. Sudah hampir enam tahun aku mengenal Kak Doni tapi, dia masih belum mengerti bahasa ku.
Ku coba bertatanya padanya.
“Kak Doni, kenapa kau bilang perahu kertas ini terakhir? Kau mau kemana?”
Kak Doni hanya tersenyum. Kemudian, meninggalkan gadis itu. Entah permainan apa yang sedang mereka rencanakan. Yang ku lihat, sampai sekitar sepuluh menit setelah  Kak Doni pergi, aku masih tetap berdiri di tempatnya. Ia menunggu sebuah perahu kertas dengan sebuah pesan yang di tulis  di dinding luarnya. 
Aku sudah menunggu lama, tetapi perahu kertas Kak Doni belum muncul juga. Setitik air kemudian turun dari permukaan langit, jatuh tepat di wajah ku. 
Aku mulai gelisah karna perahu kertas Kak Doni belum muncul juga. Aku hendak berteduh, namun masih penasaran dengan sebuah pesan yang ditulis Kak Doni.
“Fianaaa....ayuk pulang...hujan sebentar lagi deras....”
Suara itu tidak asing bagiku, ku mencoba mencari asal suara itu. Ku dapati Kak Doni yang memanggil ku dengan memainkan tangannya dengan gesit.
Aku pun tersenyum, cepat-cepat aku berlari  menghampiri arah suara itu.
“ Ayo kita pulang Fin...! “ , kata Kak Doni sambil memegang tanganku.
Aku berusaha menahan Kak Doni . “Kak Doni, tolong jangan dulu pulang. Aku ingin tau apa yang kau tulis di perahu itu untuku”.
Kak Doni  tersenyum manis sambil berkata “ Fina, Kak Doni buat yang baru untukmu, nanti setelah kau bangun akan ku buatkan perahu kertas yang cantik”,  sahut dia sebari mengajak ku untuk berlari cepat sebelum air di langit menghujam mereka.
Nah itulah  terakhir kali aku melihat Kak Doni. Sekarang sudah hampir tengah hari Kak Doni belum jua aku temuin.
Duh Tuhan...harus kemana aku mencarinya...
Aku gadis kecil yang lugu, menantinya kembali  pulang.  Air mata ini terus mengalir , menangis selayaknya anak kecil yang kehilangan induknya.
Ku berusaha bertanya kepada semua orang yang ku kenal, namun hasilnya nihil.
Emmm andai saja aku bisa membaca tulisan waktu  itu,  namun aku tak bisa membaca. Selama enam tahun kami hanya tahu bagaimana aku dan Kak Doni bisa bertahan hidup.
Sudah larut malam, namun aku masih menunggunya pulang. Tak ada dia, sendiri sambil menangis. Waktu itu aku merasa seorang gadis yang di tinggal oleh dunia.  Di tingagalkan keluarga  membuatku perih untuk mengarungi kisah , dan sekarang Kak Doni tega meninggalkan aku sendiri di tengah kisah yang entah harus ku langkahkan kemana kaki yang sebatang kara ini.
“Aku membenci Kak Doni, sangat membencinya”.  Sambil menangis keras. Tak peduli dengan orang-orang yang lalu lalang di pinggir Sungai Musi.  Kemudian sesak nafas ku kambuh aku menjerit kesakitan, nafasku seakan tersedak-sedak. Pada saat  itulah aku tidak mengingat apa yang selanjutnya terjadi. Yang ku ingat hanya ruang putih yang beraromakan obat, dengan kedua orang separo baya.  Yang sampai sekarang ini mereka merawatku dengan baik layaknya orang tua kepada anaknya.
Mereka menyekolahkanku, dan saat ini, aku Kuliah di Universitas Indonesia di Jakarta jurusan Seni Lukis. Mereka tidak memandang kelemahanku yang tuna Wicara. Namun mereka memberiku motifasi yang tinggi untuk senantiasa bisa mengarungi kisah di Era Globalisasi ini. Mereka memberiku  rumah sederhana bertempat di Jakarta yang  terbuat dari kayu  sangat unik dan menarik dengan taman yang berhiaskan bunga-bunga cantik nan indah. Banyak sekali pengunjung yang sesekali menatap lukisan ku. Rumah itu aku berinama “The House Sheep Paver”. Terkadang beberapa turis ingin membelinnya untuk dijadikan buah tangan. Aku sangat senang dan sangat berterima kasih kepada Kedua Orang tua angkatku.
Hampir semua lukisan yang ku buat menceritakan perjalanan kisah kecilku di Sungai Musi dengan Kak Doni.
Seakarang aku tau, pesan Kak Doni untuk ku di perahu kertas yang sampai saat ini masih aku genggam.
From: Fina
“Entah apa yang terjadi hari ini, semuanya samar terasa sakit. Ketika segalanya indah, kini ku terbentur lagi oleh penyakitku merana dan sakit sekali. Tak ada angin dan tak ada air tuk membantuku. Mungkin ini salahku karena tidak mempedulikan penyakitjku ini....Aku ingin sembuh, namun menurut Dokter waktuku tinggal sehari lagi.
Hati ini remuk, terbuai oleh api ketakutan.  Bukan ketakutan untuk meninggal , melaikan .ketakutan kehilangan kamu. Selama enam tahun ku bersama mu...kini aku harus pergi hanyut bersama perahu kertas.
Duh Gusti, pahami hamba-Mu ini. Aku hanya ingin berucap kepada Fina untuk  senantiasa bersandung sayang, terlimpah cinta serta beraromakan kelembutan untuku.
Kesakitan penyakitku ini selalu membuatku lemah. Mungkin terasa aneh, usia ku yang 17 tahun menyukai anak  seusia 11 tahun.
Namun rasa cinta ini membutakan aku untuk terus bersua dalam hatimu, menari lalu bersemayam di sarang hatimu.
Gubahannya teramat berasa, entahlah dengan cara apa aku menikmatinya. Air mata ini selalu terbuang di pasir-pasir yang asing, melayang memikirkanmu setelah aku meninggal kelak.
Andai aku boleh memilih ya Alloh, aku ingin tetap hidup di hatinya, walaupun tidak dapat memilikinya.
 Ijinkan aku untuk menjadi bunga di hatinya, senantiasa menjaganya, menatap matanya, serta bersenandung kasih di jiwanya.
Mudah-mudahan dengan kamu tinggal di Rumah ku. Kau akan senatiasa merasa aman. Orang tua ku sangat baik, hanya saja aku bodoh, ingin meninggalkan mereka di perantauan Palembang menjadi seorang pengamen.
Emmm, tapi aku senang bisa bersamamu menikmati keindahan sungai Musi.
Oh Tuhan ijinkan bunga ini selalu bersama akarnya, biarkan bunga ini tumbuh cantik nan indah.Dan aku mohon Ya Alloh jangan sampai akarnya mati. Karna tidak akan ada lagi bunga yang indah nan cantik menemani setiap episode kisahnya. Walupun tak ada aku di sampingnya, namun helaian kisahnya ada di kaset kenanganku.
Fina...Kak Doni bahagia dan Kak Doni yakin kamu bisa menikmati hidup ini dengan kekurangan dan kelebihan kamu. Jangan mengeluh dengan kekurangan mu itu. Kamu memiliki kelebihan yang luar biasa namun kau belum menyadarinya.
Aku sayang kamu Fina...
Dear, Doni Permana Jaya

“Fina, ini  pemakaman Doni. Ibu sengaja tidak memberitahumu karna pemintaan Doni terakhir, agar kamu tidak sedih nak..., maafkan Ibu”, Ujar Ibu menjelaskan.
Lamunanku buyar  tersentak hatiku mendengar suara Ibu. Tak terasa perlahan air mataku mengalir menetesi perahu kertas Kak Doni yang kini ku genggam.
Ku menatap gundukan pasir berbalut kramik memperindah pemakamannya di hiasi papan misan dengan nama “Doni Permana Jaya bin Permana”, serta bunga kamboja putih mempercantik makam Kak Doni.
“Terima kasih Kak Doni, aku juga sangat menyayangimu. Maafkan aku telah membencimu dulu. Kini aku di hadapanmu untuk berdo’a, aku yakin Kak Doni pasti bahagia di sana bersama Alloh...Fina sayang Kak Doni, seperti Kak Doni sayang Fina. Kak Doni sekarang Fina sudah besar, dan Fina tiada henti membaca pesan Kak Doni, Fina rindu Kak Doni, sangat rindu.  Kak.,  Besok Fina akan menempuh hidup baru, menjalani kehidupan baru dengan orang yang sayang ke Fina, dan orang tua Kak Doni.
Emmm, Kak Doni maafkan Fina. Fina berjanji akan menghanyutkan perahu kertas ini bersama orang yang Fina cintai. Akan ku kenalkan dia dengan keindahan Sungai Musi.
Fina lukiskan kisah kita berdua di rumah kecil Fina.
Kak Doni Fina pamit dulu. Fina sayang Kak Doni..”.

Allahma Salli ‘aumla syaidina Muhammad wa aali syaidina Muhammad
…By…UMRISTA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar