CINTA
BERKALUNG DUSTA…
Memang
benar kata Zahra Afifah, hidup ini ibarat gubahan debu yang terbang, menari,
berputar-putar, berkelebat dan melesat kemudian hilang dalam permukaan
kisahku. Apalagi untuk seorang remaja
sepertiku yang terbuai dalam nuansa keidahan dunia. Terlintas hanya kedamaian
yang bersinar menyerbak awan berjalanan lalu merangkak bagai lukisan kisah yang
kini ku cari. Aku memakik tertahan dan suaraku hanya tertelan sorotan lampu
dalam keheningan. Sepoy angin malam seakan memandikan cahaya bulan di Alun-alun,
tatkala hati ini masih dicerca kepedihan. Tertawan jiwaku oleh kenyataan pahit,
dan tergadai diriku oleh kebimbangan. Tuhan, adakah jiwa selain Aku yang
terbang merindui musim kedamaian? Ku lihat jiwa-jwa di samping ku seakan tanpa
beban duduk di mobil dengan berjuta limpahan kebebasan. Sedangkan jiwaku
terbelenggu oleh kisah keluargaku, sehingga menjadi tawanan ketidakpastian.
Malam
Ramadhan telah tiba, hampir dua tahun sayap-sayap jiwaku patah dan kesembuhan
mulai kunjung datang. Aku bukan seorang penghitung, tapi cukup mudah bagiku mengingat
dimana luka menggoresku dan derita menusukku. Kutinggalkan rumah dengan hati
yang terluka, dan ku tinggalkan orang tua yang sedang terbakar oleh api
kemungkaran berbalut keegoisan. Seumpamanya tidak takut dosa, sudah
kulaksanakan rencana sebulan yang lalu untuk mengakhiri hidupku. Dan seandainya
bukan karena Zahra anak DKM dekat rumahku, yang ucapannya senantiasa bagaikan
embun di pagi yang gersang membasahi jiwaku yang kering, mungkin tubuh ini
sudah hancur dimakan ulat dan diluluhkan oleh siksaan Malaikat kubur. Serta tak
akan Aku mengenal-Mu.
Apabila
ada anak perempuan bermata agak sipit, berambut lulus panjang, berkulit putih,
memiliki lesung pipi sebelah kiri, bertinggi 170 senti dan berwajah tirus,
serta berjulukan “Si Topi Jerami” maka
anak perempuan itu adalah Aku. Febi
Wahyudin namaku. Aku adalah bekas murid MAN 2 Serang Banten. Di sekolah aku
selalu menjadi yang terbaik. Banyak memiliki sahabat serta banyak dipuji karena
banyak prestasi. Keluargaku adalah kelurga yang berkecukupan. Bisa dikatakan
bahwa keluargaku adalah termasuk keluarga yang sukses. Tidak terlalu kaya tapi
cukup sukses. Dan itu semua kami dapatkan dari hasil jerih payah Ayahku menjadi
seorang Petani padi di Serang Banten. Aku anak Petani padi, teman-teman di Sekolah
memanggilku “Si Topi Jerami”.
Kehidupan
kami hampir sempurna, Ayah dan Ibu adalah orang yang baik serta berpendidikan.
Ayah selalu bersedia membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan entah berupa
nasihat dalam pengelolaan padi atau dalam bentuk keuangan. Tetapi satu sikap
Ayahku yang mengundang Ibu dan aku jengkel, dia sedikit genit terhadap
perempuan hehe, akan tetapi semua itu tidak mencemarkan nama baiknya. Beberapa
orang telah mengikuti pelatihan dengan Ayah mengalami kesuksesan menjadi Petani
Padi. Termasuk Oom Herman, sahabat karib Ayahku. Dalam keadaan yang demikian
itu, hari-hariku terasa indah. Aku bisa belajar dengan tekun serta bisa
menikmati masa bermainku.
Demikianlah,
aku dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan dan berpendidikan. Tak ada
cerita duka dan kepedihan. Tak ada kisah tangis dan air mata penderitaan. Di
rumah Aku adalah anak yang baik. Di sekolah, aku adalah pelajar yang menjadi
juara. Dari sekian pelajar di Serang Banten ini, Akulah pelajar perempuan yang
selalu menempati peringkat satu. Dan entahlah, apakah ini dinamakan sebuah
keangkuhan atau watak seorang pelajar cerdas? Aku tidak peduli.
Zahra
adalah teman mengaji di Masjid dekat rumah ku. Dia anak seorang DKM,
keluarganya bersahaja dan santun. Dia baik dan sering sekali memberi saran
padaku. Andai saran itu berwujud tali, mungkin panjangnya sudah sepanjang
Pantai Anyer di Banten! Pertama aku mendengarkan sarannya, kedua kali aku mulai
bosan, ketiga kali masih ku dengarkan, keempat kali sudah keluar dari telinga
kiriku, dan kelima kali, aku tidak mendengarkan saran-sarannya sama sekali.
Anehnya, dia tidak pernah menghentikan saran-sarannya. Ehm Aku berterima kasih kepadanya karna selama dua
tahun Aku banyak dibimbing menjadi Muslimah yang terbaik. Apabila mengingat semua yang
dikatakan Zahra, melelehlah air mataku. Bencana memang menghampiri keluargaku,
bagai gelombang air bah yang menghancurkan sawah-sawah dalam kehidupanku.
Setelah
lulus dari MAN, Aku berencana mengambil kuliah Keguruan di UPI Bandung. Tetapi,
ketika lulus itulah, kesalah pahaman melanda keluargaku. Kisah ini bermula
ketika Ibu dan Ayah ku mulai pisah ranjang serta ketika Oom Herman sahabat
karib Ayahku mulai datang dalam kehidupan keluarga kami. Ketika itulah
pertengkaran Ibu dan Ayah menjadi-jadi.
Sikap
Ayah dan Ibu mulai berubah, tidak tergaris sedikitpun kalau mereka orang yang
berpendidikan seperti dulu. Watak mereka berubah semejak Ayah dan Ibu mengenal
Oom Herman. Ayah sering tidak pulang
dengan alasan banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. dalam situasi seperti
ini, amarah Ibu semakin menjadi-jadi ketika Ayah pulang. Ibu semakin memaki ayah
kecemburuan mulai melanda Ibu entah hasutan dari mana, sikap Ibu menjadi
beringas “Bagus-bagus ya kamu sekarang! tidur dimana kamu semalam hah!
“
Haruskah engkau terus memojokanku seperti ini, Bu? Seorang istri harusnya
melayani suami ketika pulang kerja seperti ini, Minimal, menyodorkan muka yang
manis. Bukannya malah marah-marah tidak jelas”. Jawab Ayah sebari membantingkan
tas ke lantai.
“
Tidur dengan wanita malam…..” pekik ibu.
Amarah
Ayah berkobar-kobar lagi. Ayah menendang perut Ibu. Aku menjerit. Kedua Adiku
semakin takut. Ku semakin menjerit. Ibu menangis keras.
Nafas
Ayah masih tersegal-segal, mata ayah memerah menyala-nyala. Aku sudah tidak
tahan lagi melihat Ayah dan Ibuku. pikiranku kacau. Setiap hari aku mendapati
pertengkaran yang menjadi-jadi di antara kedua orang tuaku. Kemudian Aku
putuskan untuk tidak melanjutkan kuliahku di Bandung. Asaku patah. Siswi yang
selalu menjadi juara di Sekolah tidak bisa kuliah karna ketidak harmonisan
orang tuaku. Aku takut ketika Aku kuliah di Bandung bagaimana nasib Adik
kembarku yang masih kecil? Oh Tuhan tak sadar air mataku jatuh perlahan.
Oom
Herman yang selalu menenangkan Ayah ketika mereka bertengkar. Aku selalu
melihat Ayah tertawa saat berbincang dengannya. Ayah sudah menganggapnya adik,
banyak persamaan antara Ayah dan Oom Herman terutama dalam pekerjaan. Oom
Herman seorang pendengar yang baik, kisah pilu, duka dan bahagia Ayah ceritakan kepadanya. Dari
mulai sikap Ibu yang baik dan buruk
serta sikap genit terhadap lawan jenis pun Ayah ceritakan. Kepercayaan tumbuh
seiringan dengan kehancuran keluargaku.
Aku
pulang ke Rumah dengan hati yang masih hancur. Karna teringat keganasan Ayah
berani memukul Ibu. Di ruang tamu Aku melihat Oom Herman tersenyum padaku.
“
Febi…kamu dah pulang nak..? Gimana jalan-jalannya? Tanya Oom Herman.
“
Baik Om, emmm Ayah mana Oom?
“Oh
Ayah mu sedang pelatihan di Balai Desa.” Jawab Oom Herman.
“
Oom kenapa tidak mendampingi Ayah? “ Tangkas aku heran
“
Ayahmu sedang ditemani Ibumu, kebetulan Ibu mu sangat menguasai mengenai pupuk
organik. Maka Oom memeritahkan Ibumu
menjadi pemateri menggantikan Oom. Mudah-mudahan itu bisa menjadi awal yang
baik untuk kedua orang tua mu.” Jawabnya sebari tersenyum kepadaku.
Entah
kenapa Aku malu, menuduh Oom Herman sebagai biang kerok keluargaku. Seketika Aku
tersenyum dan mengucapkan terima kasih
kepada Oom Herman.
Semejak
Oom Herman tinggal bersama kami, Ayah Ibu ku sudah tidak bertengkar lagi.
Mereka berdua mulai rukun seperti dulu. Aku senang melihatnya, perhatian Ibu
kepada Ayah mulai tumbuh kembali. Begitu pun Ayah bisa meredam amarah terhadap
Ibu. Oom Herman sangat berpengaruh dalam kehidupan kami. Tidak terasa 1 tahun
kami tinggal bersama Oom Herman dengan harmonis. Tidak ada pertengkaran dan
goresan luka yang berkoar dalam rumahku.
Aku
sekarang mengikuti pelatihan Komputer di sebuah komunitas yang dibangun oleh
Oom Herman. Sudah setengah tahun aku mengikuti pelatihan ini. Akhirnya aku
mulai berkeinginan memiliki Standt Fotho permanen di daerah Tenggerang. Tidak
terlitas sedikitpun Aku ingin melanjutkan kuliah. Aku sangat menyukai duniaku
sebagai pecetak fotho. Akhirnya aku diberikan sebuah bangunan percetakan di
Kampung Melayu Banten. Cukup minimalis tetapi sangat nyaman dan ramai. Aku
mempunyai dua karyawan. Seorang Fotho Gerafer dan Kasir. Aku bahagia, ehm
selintas Aku teringat Zahra yang ingin sekali melihatku cumlaud menjadi serjana
Pendidikan. Serta Adik kembarku yang kini Ayah titipkan di Asrama Al-Bidayah
Cangkorah di Bandung. Maklum Adik kembarku tidak mau sekolah di Banten, mereka
ingin menjadi anak perantau.
Malam
itu tiba-tiba saja Aku rindu kepada Ayah dan Ibuku. Bergegaslah Aku untuk.
Kemudian aku berangkat dengan menggunakan Motor kesayanganku. Walau perjalanan
ini jauh, tapi keringat ini tidak akan menahan kerinduan terhadap orang tuaku.
Setibanya
Aku di gerbang rumah, sengaja Aku tidak memberitahukan kepulangan kepada Ibu.
Karna aku ingin memberinya kejutan, yah kejutan bahwa anaknya sudah sebulan
tidak bertemu Aku merindukan Ibuku. Saat ku berjalan pelan tiba-tiba pintu
terbuka, bergegaslah Aku masuk. Astagfirulloh Aku dapati Ibu dan Oom Herman
sedang bercumbu mesra di ruang tamu. Baju Ibu tergeletak di lantai dan tangan
Oom Herman merayap di tubuh Ibu. Dengan nikmat keduanya mendesah dan berucap
sayang. Aku menangis melihat kelakuan Ibu dan Oom Herman. Sementara keduanya
tidak menyadari bahwa Aku ada menyaksikan perbuatan asusila mereka. Tak tahan Aku
menyaksikan perbuatan jijik mereka, Aku pun menjerit. Seketika Ibu menengok ke
arahku dengan telanjang dada.
“Feeebii…!
kau pulang nak?” ujar Ibu dengan gugup sebari berusaha mengenakan pakaiannya
kembali.
“Ibu
dan Oom Herman dasar biadab…biadab…Aku benci Ibu dan Oom Herman..”
“Tenang
nak…Ibu akan menjelaskan …”
“Tidak
ada yang meski di jelaskan bu…perbuatan kalian biadab! Kamu…Om, tidak menyangka
kau jahat. Apakah kau sudah lupa jasa Ayahku yang menganggapmu seperti adik sendiri.
Ayah sudah percaya, tapi kau malah mengambil Ibu..”, Aku menangis menjadi-jadi,
Aku menjerit. Pikiranku kacau. Berbagai Aplikasi Computer, Rumus Matematika, Unsure-unsur
Kimia, Kosa Kata Bahasa Indonesia, dan semua mata pelajaran yang kuhafal sedikitpun
tidak bisa menolong kekacauan pikiranku. Sedikitpun tidak berguna sama sekali.
Tiba-tiba
Ayah pulang “ada apa…ada apa ini Bu? Man ada apa ini? kenapa anak ku?” , dengan
panik Ayah bertanya sebari menghampiri Aku yang menjerit-jerit.
Tetapi
tidak ada yang menjawab. Ibu hanya menangis tersedu, sedangkan Oom Herman diam
membeku seolah ruh dan raganya terpisah.
Suara
Ibu memecah kengiluan dalam keheningan.
“Ayah
maafkan Ibu…maafkan Ibu yah..”
Aku
dengan sekuat tenaga memaki ibu “ I..bu dan Oom.. Herman se..selingkuh
Ayah..Cinta Ibu palsu. Ibu tidak mencintaiku!!” diiringi dengan tangis dan
terbata-bata Aku menjelaskannya dan memaki Ibu. Kujambak rambutku. Ku
bentur-bentur kepalaku ke dingding. saat ku dengar …
plak,plak,plak…
Kubenturkan
kembali kepalaku dengan keras , dan pada benturan yang terakhir Aku sudah tidak
ingat apa-apa.
Dua hari Aku diopname di Rumah Sakit
UMUM DAERAH SERANG . Saat Aku sadar, Aku melihat Ayah duduk di samping
pembaringan, tanpa Ibu dan Oom Herman. Kepada Ayah Aku bertanya , “Ibu mana?”
Ayah
mendesah. “Di rumah Nenek mu,”
Aku
ingin bangkit dari pembaringan , tapi Aku tidak kuat. Ayah memintaku untuk
tetap berbaring. Ayah menawariku bubur yang disediakan Perawat rumah sakit. Aku
menggelenkan kepala. Ketika Aku sadar, yang ku ingat hanyalah hubungan Ibu dan
Oom Herman.
“
Ibu meninggalkan kita, Febi. Maafkan Ayahmu…”
Aku
menangis menjadi-jadi saat Ayah menceritakan bahwa Ibu dan Oom Herman sejak
masih kuliah mereka memiliki hubungan khusus, ketika Ibu dijodohkan oleh Nenek
dengan Ayah, mereka berdua berpisah. Puluhan tahun mereka tidak bertemu hampir
20 tahun Ayah dan Ibu berkeluarga, tiba-tiba Ayah bertemu Oom Herman kami
bersahabat akrab entah itu dalam pekerjaan atau masalah pribadi. Waktu itu ayah
tidak tau Oom Herman adalah mantan kekasih Ibu ku. Ternyata setahun yang lalu
keharmonisan keluarga ku hancur karna Oom Herman selalu menceritakan keluhan
Ayah terhadap ibu. Semuanya dia ceritakan kepada Ibu ku bahwa ayah bla bla
bla…, sandiwara selama setahun kini terbongkar dalam asa yang pedih dan
kehancuran yang menusuk jiwaku. Kebencian menggerogoti hatiku saat kudapati Ibu
dan Oom herman sedang mencubu. Dan ternyata penyebab Ayah sering tidak pulang
karena Ayah telah menikah lagi dengan perempuan seusiaku.
Semejak
kejadian itu , Aku tidak perna melihat Ibu atau pun Ayah setra adik kembarku.
Karna ketika Aku dirawat dulu, ku paksakan diri untuk bangkit dan pergi jauh sejauh kaki melangkah. Hati
ini semakin sedih dan tertekan. Aku sudah berniat untuk pergi. Aku pedih,
hatiku hancur. Jiwaku robek-robek .
Sudah dua bulan Aku meninggalkan rumah tanpa arah.Dan sekarang Aku ada di Pasir
Cina Cianjur.
Sepi.
Sunyi. Hanya Nisan-nisan teman sejati. Berpadu dengan pepohonan dan harum
melati. Terkadang menderu angin yang berhembus, menjatuhkan beberapa daun
beringin dari tangkainya. Aku tidak ingin pergi kemana-mana kecuali berada di
atas kuburan ini. Disini lah Aku merasa
lengkap sudah deritaku . Disini pula Aku sadar sia-sia semua yang telah
Aku alami selama ini. Sia-sialah Aku pernah menjadi Siswi yang paling cerdas,
dan selalu menjadi juara di Sekolah.
Sia-sialah
belajarku. Sia-sialah semua usahaku. Setelah semua ku lakukan pada akhirnya
derita hidup yang kudapatkan. Ketika Aku akan mengakhiri hidupku, sesosok
perempuan menghampiriku kemudian memanggilku.
“Febii…apa
yang kamu lakukan! lepaskan !!”
“Zahra
sedang apa kau di sini? hidupku tidak berguna Ayah dan Ibuku terjalin cinta
yang terlarang sehingga membiarkanku tak tentu arah…”, Aku menangis
tersedu-sedu.
“Ingat
Febii, Ingat Alloh…Ingat kau masih punya Aku..Aku akan membantumu. Aku janji Aku
dan keluargaku akan menjagamu…ayo lepaskan tali itu..!!!”, sentak Zahra sebari
berusaha menariku.
Aku
masih menggenggam tali itu kuat-kuat pada leher. Sementara Zahra terus beristigfar
menyadarkanku. Spontan Aku pun turun dan memeluk Zahra temanku di pengajian
dulu.
Sekarang
Zahra tinggal di Pesantern Pasir Cina Cianjur. Dia mengajakku untuk mengenal
Alloh senantiasa beribadah dan mengajaku menutup aurat. Hingga kini Aku menjadi
seorang muslimah. Aku mencoba membongkar
kemudian ku kubur semua kisah pahit masa
lalu dengan lapang dada. Aku berencana untuk pulang ke rumah Ayah dan kerumah
Ibu untuk memohon maaf dan mengisi moment bulan yang dinantikan umat islam
sedunia bulan Romadhon bersama. Walupun mereka terpisah akan tetapi mereka
tetap kedua orang tuaku.
“Serang…Serang…Serang
Banten…silahkan Bu…itu duduk di samping masih kosong..”, sahut kenek mobil bus
yang kini ku tumpangi.
Lamunan
ku buyar ketika mobil merangkak naik di Alun-alun Cianjur. Kulihat kursi masih
banyak yang kosong. Dengan mobil ini, Aku akan pulang lagi ke Serang Banten.
Bersua dengan orang-orang yang ku cintai.
Terbayang
jelas wajah Ibuku, Ayahku, dan Adik kembarku. Mengingat hal ini, secuil
hatiku dilimpahi kegembiraan. Apalagi,
di bulan Romadhon ini aku akan mengajak mereka untuk berkunjung ke Pesantern
Zahra tempat Aku tinggal. Namun, cuilan hatiku yang lain masih diliputi duka.
Duka yang hampir sempurna. Serang telah kutinggalkan dengan beribu-ribu
kenangan. Namun semuanya akan ku gibas dengan hati lapang. Aku akan menerima
Oom Herman menjadi Ayah baruku, begitupun istri Ayah akan ku terima menjadi Ibu
baruku…Kuatkan diriku untuk selalu bersabar kepada-Mu…
Writing Competition ini merupakan salah satu rangkaian acara dari Indonesia Muslimah Fest bekerjasama dengan FLP Bandung.
Ikuti lomba & Audisi lainnya seperti Lomba Menyanyi, Model
Muslimah, Rancang Hijab dengan Hadiah Utama Tour Eropa, Asia dan Umroh
juga Hadiah Ratusan Juta lainnya. Informasi lebih lanjut dapat diakses melalui:
web : www.festivalmuslimah.com
Twitter : @MuslimahFest
Fb : www.facebook.com/FestivalMuslimah
web : www.festivalmuslimah.com
Twitter : @MuslimahFest
Fb : www.facebook.com/FestivalMuslimah