Rabu, 14 Maret 2012

Artikel Pandangan Mahasiswa Terkait Surat Dirjen Dikti


Suara Mahasiswa Terkait Kewajiban Menulis Karya Ilmiah
sebagai Syarat Kelulusan
Mahasiswa saat ini sedang digemparkan oleh salah satu surat yang kini telah beredar kepelosok Indonesia mengenai kebijakan Dirjen Dikti menulis karya ilmiah sebagai syarat kelulusan kini berbuah menjadi momok yang menakutkan bagi mahasiswa. Pada umumnya hal yang wajar apabila suara mahasiswa terkait kebijakan Dirjen Dikti ada yang mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut, namun tak sedikit juga yang menolak. Oleh karena itu, tidak heran apabila para mahasiswa di Indonesia menentang kebijakan Dirjen Dikti.  

Akan tetapi, sepakat dan tidak sepakat bukan menjadi persoalan   yang paling terpenting adalah solusi apa yang meski para mahasiswa suarakan mengenai masalah ini. Menurut Guru Besar Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Prof Yos Johan Utama menilai kebijakan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) mengenai syarat pembuatan makalah ilmiah untuk kelulusan adalah hal yang baik. Namun, menurutnya realisasi itu memerlukan sarana. “Hal itu bagus, tetapi seharusnya disiapkan dulu sarananya,” katanya.  Ia setuju dengan kebijakan tersebut karena dapat menghindari plagiarisme dan dapat menumbuhkan minat menulis mahasiswa. Namun, ia menyarankan agar Dirjen Dikti menunda dulu realisasinya sambil menunggu sarana siap”. 
 
Selain Prof Yos Johan Utama, penyambutan hangat pun dilakukan oleh  Rektor Universitas Surabaya (Ubaya) Prof. Joniarto Parung memiliki pendapat lain mengenai surat edaran Dirjen Dikti. Menurut dia, publikasi makalah di jurnal ilmiah memang bertujuan bagus, yakni mendongkrak karya ilmiah di kampus. Tapi, caranya dinilai kurang tepat. "Sangat reaktif," ujarnya.                 
Mungkin wacana mengenai kewajiban menulis jurnal ilmiah sebagai salah satu syarat kelulusan bagi mahasiswa S1, S2, dan S3 masih belum banyak terdengar di kalangan mahasiswa. Maklum, surat edaran saja baru beredar di PTS dan PTN Indonesia pada 27 Januari lalu. Namun, beragam reaksi sudah mulai ditunjukkan dari beberapa PTN dan PTS terkait. Beberapa setuju, dan mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut, namun tak sedikit juga yang menolak.
Pernyataan di atas mengenai kebijaksanaan Dirjen Dikti terkait membuat jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan, seakan disambut hangat  oleh keduanya. Namun beda halnya dengan perwakilan Mahasiswa UNICOM lubnamelia  “Kemungkinan besar saya kurang setuju terkait penulisan jurnal. Hal yang patut kita khawatirkan adalah jurnal “abal-abal” yang kemungkinan akan muncul jika kebijakan dari dirjen dikti ini terlaksana. Bagaimana tidak, saat ini sistem infrastruktur negara kita masih dipertanyakan, apalagi untuk proses seleksi dan penyaringan dari kemungkinan plagiarisme. Dengan banyaknya jumlah mahasiswa yang ada di Indonesia.
Ketiga pendapat di atas terkait mengenai surat kebijaksanaan Dirjen Dikti yang mewajibkan untuk menulis jurnal bagi S1,S2 dan S3. Ada yang pro ada juga yang kontra, itu hal biasa dalam pandangan seseorang.
Akan tetapi bagi saya pribadi, itu sah-sah saja dalam artian saya setuju dengan kebijaksanaan Dirjen Dikti. Akan tetapi perlu ditekankan bahwasannya harus ada sarana khusus untuk mengirimkan jurnal tersebut sehingga sah termuat. Seperti halnya pendapat Yos Johan Guru Besar Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, yang menyatakan kesetujuannya  asalkan disediakan sarana atau fasilitas.
Nah, pada dasarnya menurut saya kebijakan ini sebuah penghormatan bagi para mahasiswa agar senantiasa mengembangkan kembali budaya menulis di Indonesia. Mengapa tidak kita selaku mahasiswa yang dikenal sebutan seorang  ilmuan kembali melestarikan keterampilan menulis. Ingat kita sebagai mahasiswa harus berperan aktif dalam membuat karya ilmiah, walaupun tercatat mahasiswa di Indonesia sangat minim dalam memaparkan sebuah tulisan dibandingkan dengan negara kecil seperti  Malaysia. Banyak sekali jurnal-jurnal hasil karya mahasiswa Malaysia yang dimuat oleh lembaga pendidikan.
Maka dari itu, mulailah Dirjen Dikti ingin mengesahkan kewajiban menulis jurnal, yang pada umumnya bertujuan  agar senantiasa  mengembangkan kopetensi dengan negara lain. Meskipun seharusnya Dirjen Dikti harus kembali memberikan sebuah pernyataan yang relevan, dan mendeskripsikan jurnal seperti apa yang layak dimuat oleh para mahasiswa sebagai syarat kelulusan itu. Selain itu, Dirjen Dikti mengadakan seminar-seminar gratis atau pelatihan khusus bagi mahasiswa dalam proses pembuatan jurnal yang tujuannya agar mahasiswa tidak kerepotan serta tidak merasa terbebani saat pengesahan penulisan  jurnal ini terakreditasi. Yang paling penting memberikan sarana/media khusus bagi para mahasiswa dalam mengirimkan jurnal ilmiahnya tersebut. Dengan itu semua keputusan Dirjen Dikti akan mendapatkan tempat khusus di hati mahasiswa. Walupun tidak menuntut kemungkinan, dengan diakreditasikannya kebijakan menulis, akan banyak mahasiswa yang istilahnya plagiarisme. Itu baru kemungkinan dan belum pasti.
Bagi saya kebijakan ini sebagai tantangan  untuk senantiasa menulis dan menulis. Hal positif  yang saya emban terkait kebijaksanaan ini adalah bahwasannya saya tidak harus diam saja tanpa menggoreskan sebuah tulisan, saya sebagai mahasiswa meskinya khawatir apabila tidak bisa menulis. “Kalo hari gini nggak bisa nulis, so gak usah khawatir...”. Ingat, menulis tidak hanya memerlukan bakat. Yang lebih penting dari itu semua adalah mahasiswa harus memulai latihan, latihan dan latihan menulis. Tentu saja, didukung dengan rajin menimba ilmu dari mana saja dan dari siapa saja, dan satu lagi yang terpenting membaca pun harus dijadikan budaya.
Oleh karena itu suara saya Terkait Kewajiban Menulis Karya Ilmiah sebagai Syarat Kelulusan, akan saya sambut dengan hangat selama pihak Dirjen Dikti mengimplementasikan permintaan saya yang dapat dijadikan sebuah masukan bagi para Dirjen Dikti sebelum mengakreditasikan kebijaksanaannya itu.
( ***UMRISTA )
DAFTAR PUSTAKA
www.google.com pendapat mengenai pengesahan dirjen dikti terkait jurnal












































2 komentar:

  1. Apakah keputusan tentang hal tersebut tidak terlalu mendadak ???
    perlu perencanaan yang matang, seharusnya pemerintah melakukan pembenahan terlebih dahulu, persiapan dalam menyambut "MENULIS KARYA ILMIAH SEBAGAI SYARAT KELULUSAN".

    BalasHapus
  2. Terimakasih anda orang pertama yang mengomentari tulisan saya...
    Saya setuju dengan pendapat anda bahwa pemerintah seharusnya melakukan pembenahan..,akan tetapi sudah saatnya kita sebagai mahasiswa senantiasa menjadikan menulis sebagai budaya yang patut dikembangkan.Kesimpulannya bukan hanya pemerintah yang meski mempersiapkan penyambutan "MENULIS KARYA ILMIAH"akan tetapi sebelum pemerintah mengadakan persiapan alangkah baiknya kita sebagai mahasiswalah yang meski mempersiapkan kebijakan pemerintahan tersebut.

    BalasHapus