Kamis, 21 Juni 2012

SANG GURU BANGSA (GUS DUR)


Mengenal Sosok Gus Dur
Lahir:
Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940.
Orang Tua:
Wahid Hasyim (ayah), Solechah (ibu).
Istri :
Sinta Nuriyah
Anak-anak :
Alisa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh, Anisa Hayatunufus, Inayah Wulandari
Pendidikan :
• Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963)
• Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
• Fakultas Surat-surat Universitas Bagdad (1966-1970)
Karir
• Pengajar Pesantren Pengajar dan Dekan Universitas Hasyim Ashari Fakultas Ushuludin (sebuah cabang teologi menyangkut hukum dan filosofi)
• Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)
• Penemu Pesantren Ciganjur (1984-sekarang)
• Ketua Umum Nahdatul Ulama (1984-1999)
• Ketua Forum Demokrasi (1990)
• Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994)
• Anggota MPR (1999)
• Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999-24 Juli 2001)
Penghargaan
• Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
• Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)

Perjalanan Karir

Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak.
Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot note.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri.
Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman.
Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4.
Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.
Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisai kaum ‘elit Islam’ tersebut dengan organisasi sektarian.
Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan sekuler.
Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.
Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal.
Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.
Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi.
Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.

Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar.
Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris.
Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’shum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’.
Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.
Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa.
Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar.
Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju.
Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas.
Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya.
Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya.
Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam.
Namun, akhirnya ia kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.
Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik. */kpo

Pembebas Tionghoa

Gus Dur, berpakaian congosan saat dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa, 10 Maret 2004, di Semarang.
JAKARTA–Indonesia kehilangan satu lagi putra terbaiknya, mantan presiden Republik Indonesia ke-4, Abdurrahman Wahid berpulang pada Rabu (30/12), pukul 18.45, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Lelaki yang akrab dipanggil Gus Dur itu dikenal sebagai tokoh fenomenal di Indonesia. Namun, di antara kisah kontroversi Gus Dur, tak sedikit peran besar yang ditorehkan lelaki peraih sepuluh gelar dokter kehormatan tersebut.
Salah satunya, saat menjabat menjabat Presiden RI pada 1999 – Juli 2001,Gus Dur telah membuat berbagai keputusan menyangkut sejarah bangsa. Keputusannya adalah mencabut PP No 14 Tahun 1967 yang berisi larangan atau pembekuan kegiatan-kegiatan warga Tionghoa.
Dalam dialog “Living in Harmony the Chinese Heritage in Indonesia” yang digelar menyambut Hari Imlek di Jakarta, 30 Januari setahun lalu, Gus Dur meyakini Imlek merupakan perayaan budaya, bukan keagamaan.
“Imlek itu perayaan tani,” kata mantan presiden yang kini menjabat ketua umum Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut.
Gus Dur sendiri mengaku memiliki aliran darah Cina dalam tubuhnya. Darah Cina itu mengalir dari Putri Campa yang menjadi selir Raja Majapahit Brawijaya V yang silsilahnya sampai pada dirinya.
Namun bukan karena alasan itu dirinya mengizinkan perayaan Imlek secara luas ketika menjabat presiden, melainkan demi menjaga pluralitas Indonesia.
Ketika PP No 14 tahun 1967 masih erlaku, praktis peribadatan umat Konghucu dan aktivitas-aktivitasnya harus dipendam. Umat harus sembunyi-sembunyi untuk bersembahyang di kelenteng. Bahkan untuk merenovasi kelenteng pun harus melakukan gerakan “bawah tanah”
Setelah keran yang menyumbat kegiatan itu dicabut, masyarakat Tionghoa boleh dikatakan terbebas dari belenggu selama puluhan tahun. Mereka bisa sembahyang di kelenteng tanpa sembunyi-sembunyi. Bahkan berkat Tokoh Nahdatul Ulama itu, Hari Raya Tionghoa, Imlek pun resmi menjadi hari raya dan hari libur nasional.
Kebebasan yang diraih oleh kalangan Tionghoa itulah yang juga membuat Gus Dur dinobatkan menjadi Bapak Tionghoa, 10 Maret 2004 silam. Di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, kawasan Pechinan Semarang, ketika penobatan dilakukan, Gus Dur pun mengenakan pakaian congosan. berbagaisumber/itz
Gus Dur Wafat, Sempat Ketemu Arwah Kakeknya
Rabu, 30/12/2009 | 20:32 WIB
Jakarta – Mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah wafat dalam usia 69 tahun, Rabu (30/12) sore. Sebelum meninggal pukul 18.45 WIB, Gus Dur sempat bercerita kepada salah satu orang dekatnya soal pengalaman spiritual yang dialami.
Menurut Gus Dur, saat berziarah ke makam kakeknya KH Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng, Jombang, ia sempat bertemu dan berkomunikasi dengan kakeknya, Mbah Hasyim (KH Hasyim Asyari, pendiri NU).
“Gus Dur bercerita kepada saya, saat ziarah ke makam Mbah Hasyim, Gus Dur ditemui Mbah Hasyim. Gus Dur bercerita soal pengalamannya dengan tenang dan senang wajahnya,” ungkap sumber yang tak mau disebutkan namanya, Rabu (30/12).
Menurut orang yang selalu menemani Gus Dur ini, dalam percakapannya dengan Mbah Hasyim, Gus Dur mengaku dikasihani. Gus Dur pun hanya tersenyum saat dibilangi kakeknya tersebut.
“Gus Dur bilang, ‘Mbah Hasyim kasian sama saya mas’. Mbah Hasyim mengatakan, Le, kok tugasmu bersih-bersih terus yo? Sing sabar yo? (Nak, kok tugasmu bersih-bersih terus ya? Yang sabar ya?),” kata sumber itu menirukan Gus Dur.
Sayangnya, lanjut sumber itu, Gus Dur tidak melanjutkan lagi ceritanya soal pertemuan dengan Mbah Hasyim. Gus Dur langsung mengalihkan ke pembicaraan lainnya.
Sementara menurut tim dokter Kepresidenan, Gus Dur meninggal dunia pukul 18.45 WIB. Gus Dur mengalami komplikasi dan kritis pada pukul 18.15 WIB sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
“Dengan ini kami beritahukan bahwa Gus Dur telah meninggal dunia pada hari Rabu 30 Desember pukul 18.45 WIB,” ujar dr Jusuf Misbach dari tim dokter Kepresidenan di RSCM, Jakarta Pusat, Rabu (30/12).
Jusuf menambahkan Gus Dur dirawat sejak 26 Desember 2009 lalu dan kondisinya sempat membaik. “Namun pada Rabu hari ini pukul 11.30 WIB kondisinya memburuk dengan komplikasi penyakit stroke, diabetes, jantung dan pada pukul 18.15 WIB kondisinya kritis. Tepat pukul 18.45 WIB beliau meninggal,” ungkapnya.
SBY Datang Sebelum Gus Dur Meninggal
Sebelumnya, saat perawatan di RSCM kondisi kesehatan Gus Dur dikabarkan kritis Rabu (30/12) sore. Presiden SBY pun menjenguk Gus Dur di RSCM. Kabarnya, SBY mengunjungi Gus Dur di RSCM karena mendapat laporan dari tim dokter yang merawat mantan presiden RI tersebut sedang kritis.
“Kabarnya Beliau (Gus Dur) sedang kritis makanya Pak SBY langsung menjenguk Gus Dur,” kata sumber di Istana Kepresidenan yang tidak mau disebutkan namanya, Rabu (30/12).
Menurutnya, SBY sudah berada di RSCM untuk menjenguk Gus Dur. Pengamanan di sekitar RSCM terlihat ketat. Sementara sumber di RSCM menjelaskan bahwa kedatangan SBY mengagetkan pengelola rumah sakit karena mendadak. Kedatangan SBY memang tidak terjadwal sebelumnya.
Dengan demikian, Presiden SBY menyaksikan detik-detik terakhir menjelang Gus Dur meninggal. “Pak SBY tiba sekitar pukul 18.00 WIB dan pulang sekitar pukul 19.00 WIB,” ujar kerabat Gus Dur yang menolak disebutkan namanya di RSCM.
Selain SBY, sejumlah pejabat negara lainnya juga ada di saat-saat terakhir Gus Dur. Antara lain Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih. “Dari pihak keluarga ada di antaranya Mbak Yenny,” ungkapnya.
Sebelumnya, adik kandung Gus Dur, KH Salahuddin Wahid alias Gus Sholah, mengatakan Gus Dur menghembuskan nafas terakhirnya pukul 18.45 WIB. “Saya mendapat kabar beliau meninggal. Kabar yang saya terima beliau meninggal pada pukul 18.45 WIB,” ujar Gus Sholah.
SBY Batalkan Rencana Kerja
Presiden SBY membatalkan rencana kerjanya pada Kamis 31 Desember. Hal ini dilakukan untuk menghormati meninggalnya Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. “Rencananya besok Presiden akan melakukan kunjungan kerja ke Cipanas. Tapi acara itu dibatalkan untuk menghormati meninggalnya Gus Dur,” kata Staf Khusus Presiden Bidang Bencana, Andi Arief di RSCM.
Hingga pukul 20.15 WIB, sejumlah tokoh terus berdatangan ke RSCM. Mereka antara lain Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Helmy Faishal Zaini, budayawan Romo Mudji Soetrisno dan politisi PKB Lukman Edi.
Sementara itu anggota keluarga masih berada di dalam ruangan tempat jenazah Gus Dur berada di gedung Pelayanan Jantung Terpadu. Suasana haru masih sangat terasa. Para anggota keluarga tak mampu menyembunyikan kesedihan atas berpulangnya tokoh bangsa itu.
Presiden SBY pun menggelar rapat mendadak dengan beberapa menteri di Istana Negara, untuk membahas prosesi pemakaman Gus Dur. “Sejumlah menteri terkait diminta datang. Salah satunya Menkes yang akan mengkonfirmasikan kondisi terakhir dan kapan tepatnya Gus Dur tutup usia,” ujar Jubir Kepresidenan Julian Aldrin Pasha di Istana Negara, Rabu (30/12).
Menurut Julian, akan dibicarakan prosesi pemakaman bagi Gus Dur sebagai mantan Presiden RI sesuai dengan kelaziman. “Termasuk kemungkinan untuk pengibaran bendera setengah tiang selama seminggu penuh. Saya pikir ini wajar, karena Gus Dur seoerang tokoh besar,” jelasnya sembari menambahkan, SBY akan memberikan pernyataan resmi terkait kematian Gus Dur pada pukul 21.00 WIB.
Biografi Gus Dur
Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur menjabat Presiden ke-4 RI mulai 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001. Beliau lahir tanggal 4 Agustus 1940 di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya adalah seorang pendiri organisasi besar Nahdlatul Ulama, yang bernama KH. Wahid Hasyim. Sedangkan Ibunya bernama Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Dari perkawinannya dengan Sinta Nuriyah, mereka dikarunia empat orang anak, yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari .
Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu beliau juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku. Di samping membaca, beliau juga hobi bermain bola, catur dan musik. Bahkan Gus Dur, pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika Gus Dur berada di Mesir.
Sepulang dari pengembaraannya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, beliau bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian beliau menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Beliau kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula beliau merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap `menyimpang`-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Beliau juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-`aqdi yang diketuai K.H. As`ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Selama menjadi presiden, tidak sedikit pemikiran Gus Dur kontroversial. Seringkali pendapatnya berbeda dari pendapat banyak orang. (*/dtc/jpc)

Suara Pembaruan

Pekerjaan Rumah dari Gus Dur
Barang siapa yang menghina agama orang lain, ia menghina agamanya sendiri.” Demikianlah pernyataan Gus Dur dalam iklan layanan masyarakat yang penulis buat pada saat beliau masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Pernyataan di atas terasa sederhana, namun merefleksikan kenegarawanan dalam beragam perspektif. Pertama, ketegasan kepemimpinan terhadap nilai pluralisme. Kedua, sikap tidak tawar-menawar melawan ekstremitas beragama yang menginginkan salah satu agama menjadi dasar negara. Ketiga, nilai beragama diletakkan dalam bentuknya yang paling dasar sekaligus mulia, yakni dalam tata nilai hubungan sehari-hari antarumat manusia.
Sepeninggal Gus Dur, sesungguhnya pekerjaan rumah semacam apa yang ditinggalkannya?
Daya hidup, tindakan, dan pikiran Gus Dur, sesungguhnya hidup dan menghidupi bangsa dari periode menurunnya kekuatan Soeharto hingga sepuluh tahun pasca-Reformasi. Pada dua periode ini, Gus Dur melakukan dua kerja kebangsaan yang sangat penting. Pertama, periode Soeharto, dengan caranya yang khas, Gus Dur mengelola religiositas sebagai daya hidup kebebasan berpikir dan berorganisasi guna melakukan perlawanan terhadap militerisme dan anrakisme. Kedua, era Reformasi, Gus Dur terus melakukan kerja tanpa tawar-menawar terhadap berbagai bentuk ekstremitas beragama, yang tumbuh di masa transisi sekaligus mencoba melakukan terobosan-terobosan kenegaraan yang sangat tidak mudah yang melahirkan kontroversi. Termasuk upaya Gus Dur mencoba membangun generasi baru dalam sebuah dunia baru, yang tidak mudah baginya, di tengah kesehatannya yang melemah serta dunia politik baru dalam pemilu langsung dalam kerja suara terbanyak, serta tumpang-tindih konflik kekuasaan intern serta dalam lingkup berbangsa.
Yang harus dicatat, kenegarawanan Gus Dur mampu tumbuh didasari beberapa aspek dasar pertumbuhan. Pertama, tumbuh dan lahir dari tradisi keluarga dan organisasi keagamaan Islam terbesar yang memiliki relasi kebangsaan yang kuat dengan nasionalisme sejarah Indonesia. Kedua, pemikirannya mampu memiliki daya hidup dalam berbagai ruang hidup berbangsa, dari seni, teknologi, pendidikan, partai, keagamaan, serta kebangsaan sekaligus dialog keagamaan global. Oleh karena itu, Gus Dur dikenal mampu berdialog dengan bergam kalangan hingga disiplin ilmu serta profesi. Ketiga, daya hidup kepemimpinannya mampu hidup dalam beragam waktu krisis, yang tentu saja, bisa dipahami, melemah seiring melemahnya kesehatannya.
Oleh karena itu, Gus Dur adalah guru bangsa di tengah arus perubahan besar masa-masa Soeharto hingga Reformasi. Guru bangsa yang tidak dalam gaya kepemimpinan yang birokrasi, formal, dan jumawa. Layaknya wayang, Gus Dur adalah tokoh semar ataupun punokawan yang selalu menjaga nilai-nilai serta para kesatria melewati berbagai tantangan, dengan lelucon, kenakalan, dan pemikiran, serta kerja kebangsaan yang sangat egaliter. Dengan kata lain, Gus Dur adalah pengawal Pancasila di berbagai bentuk transisi dan krisis.
Pengawal Baru
Pasca-Reformasi , seperti layaknya masa transisi, melahirkan beragam gejolak serta kerja kebangsaan dan pemikiran-pemikiran, disertai beragam perubahan tata cara bernegara, Baik itu, pemikiran ke depan maupun pemikiran ulang terhadap nilai-nilai kebangsaan, yang tidak bisa bertumbuh pada era Soeharto serta masa proklamasi. Sebutlah, tafsir sejarah peristiwa September 1965 hingga upaya kembali meletakkan agama sebagai dasar negara, yang sesungguhnya sudah selesai dengan lahirnya Pancasila dan UUD 1945.
Bisa diduga, seluruh pemikiran yang tidak bisa tumbuh pada era Soeharto, maupun yang mati oleh pemikiran pluralis Pancasila, berupaya ditumbuhkan kembali dalam era yang penuh transisi serta dibuka lewat pemilu langsung dan suara terbanyak. Era yang memungkinkan berbagai dimensi pemikiran masuk lewat partai, parlemen hingga yudikatif, eksekutif, serta berbagai bentuk proses berbangsa lainnya.
Catatan sederhana di atas, memberikan suatu isyarat bahwa Gus Dur memberikan pekerjaan rumah yang sangat besar. Yakni, di tengah era demokrasi suara terbanyak dan langsung, maka diperlukan kepemimpinan baru yang tidak tawar-menawar terhadap daya hidup Pancasila dengan ketegasan hukum, serta keberanian nilai kritis, untuk senantiasa melawan segala bentuk anarkisme minoritas maupun mayoritas keagamaan. Di sisi lain, kepemimpinan itu dituntut mampu hidup dalam demokrasi suara terbanyak dan langsung, yang penuh paradoks kekuasaan, cita-cita, kegagapan , serta politik sebagai primadona baru.
Pada sisi lain, pekerjaan rumah terbesar yang diberikan Gus Dur adalah lahirnya kepemimpinan yang mampu memandu masyarakat untuk menjadi penjaga kritis Pancasila dalam hidup sehari-hari, di tengah era informasi dan komunikasi baru, serta migrasi besar politik aliran, ideologi, hingga peran kepartaian, organisasi masyarakat dan politik, yang dipenuhi ketimpangan, krisis dan bencana serta kepemimpinan yang serba baru dan gamang, dipenuhi euforia kekuasaan ketimbang menjadi pelayan Pancasila.
Selamat jalan Gus Dur, Pekerjaan rumah ini adalah sebuah proses dialog panjang dan memerlukan keberanian kenegarawanan.
***Penulis adalah Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET)

Gus Dur Sebenarnya Sedang Tidur
Arswendo Atmowiloto
Gus Dur, barangkali sebutan yang paling demokratis, paling bersahabat, sekaligus paling hormat dan paling hangat menggambarkan persaudaraan dengan tokoh yang luar biasa, yang menjila, sang pemilik nama. Semua mulut bisa menyebutkan nama Gus Dur, semua telinga mengerti siapa yang dimaksud, dan semua hati menaruh rasa kagum dan rasa hormat yang tinggi. Gus Dur menggambarkan semua yang terangkum dalam sebutan KH Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI, atau jabatan apa pun, yang beragam yang pernah digenggam.
Tanyakan kepada semua posisi atau tokoh masyarakat, baik agamawan, politisi, seniman, negarawan, tukang ojek, maupun pemulung, mereka bisa menceritakan pengalamannya. Tanyakan kepada angin, kepada hujan, atau pepohonan, mereka bisa mengatakan hal yang sama. Tanyakan kepada debu atau batu, jawaban mereka tak jauh berbeda. Dalam budaya Jawa, Gus Dur adalah lakone, sang tokoh utama dalam segala perkara yang boleh apa saja, dan bisa. Segala yang luar biasa pantas disandangkan padanya. Sebaliknya, segala yang biasa menjadi luar biasa. Maka kepergiannya yang abadi, Rabu, 30 Desember 2009, di RSCM Jakarta, dalam usia 69 tahun, sesungguhnya diterima sebagai tidur sementara. Tidur tanpa mendengkur, seperti kebiasannya selama ini.
Tradisi
Guru bangsa yang memperjuangkan demokrasi, pluralisme budaya, dan hak-hak kemanusiaan ini, mempunyai riwayat yang dekat dengan siapa saja, mempunyai jalan awal yang tak berbeda dari kita pada umumnya. Pada awal tahun 70-an, saya masih ingat Gus Dur datang dengan Vespa -kemudian lebih sering diboncengkan, ke redaksi Kompas di Palmerah Selatan, Jakarta. Menunggu mesin ketik yang kosong, kemudian mengetik apa saja: komentar film, pertandingan sepak bola, atau soal politik. Yang unik bukan apa yang dituliskan, melainkan pembicaraan yang mengganggunya saat mengetik. Para wartawan mengerumuni, bertanya apa saja. Dan dijawab dengan ringan menawan. Jauh sebelum idiom, “gitu aja kok repot”, Gus Dur telah menjalaninya dengan sederhana, dengan biasa. Kalau hanya begitu, kurang seru. Karena “tradisi” ini juga terjadi pada majalah Zaman, yang diterbitkan oleh grup Tempo. Padahal, sebenarnya kedatangannya ke sana untuk menjemput istrinya yang menjadi redaktur di situ. Sambil menunggu, bisa mengetik artikel dan memberikan pembekalan kepada wartawan-wartawan yang masih terlalu hijau dalam bekerja. Tapi, begitulah Gus Dur, tak membedakan senior-yunior, tak membedakan kelompok mana.
Saya juga pernah menikmati satu-dua kali, dengan mobil kecil datang ke berbagai seminar -pernah bertiga dengan Goenawan Mohammad. Kalau tak salah, usulan karcis tol berlangganan muncul di sini. Karena seringnya menggunakan jalan tol -terutama ke bandara, Gus Dur menuliskan atau mengusulkan melalui surat pembaca. Kadang kami menggoda dengan sengaja menanyakan nomor telepon seseorang, yang dihapal Gus Dur di luar kepala, bahkan sambil tiduran sekali pun. Tujuh angka bisa disebutkan, dan bukan hanya tujuh belas tokoh yang ditanyakan. Kadang, Gus Dur ngomel, bukan karena dikerjai, melainkan karena terganggu tidurnya.
Soal tidur ini merupakan hal yang extraordinary betulan. Dalam sebuah diskusi teater pada 1993, di mimbar panel diskusi, Gus Dur benar-benar tertidur sampai mendengkur. Bahkan ketika sampai gilirannya, harus disenggol dan dibangunkan. Tapi, ya itulah lakone, terbangun seketika, bisa menanggapi pembicara sebelumnya dan tetap membuat pendengarnya tertawa. Saya ingat tahun itu, karena itu saat saya keluar dari penjara. Adalah Gus Dur sendirian yang membela “kasus Monitor”, yang menghebohkan, yang membuatnya “diadili” kaum ulama, tiga tahun sebelumnya. Saya khusus menemui dan mengucapkan terima kasih, mencium tangannya. Gus Dur menerima, seperti juga menerima salam dan ciuman tangan dari yang lain, sambil terus jalan. Saya agak kecewa dan terucap.”Yaaah, Gus Dur lupa sama saya….” Di tengah jalan menuju mimbar, Gus Dur berhenti dan berpaling: “Kalau baumu, saya masih ingat…” Selalu ada yang mencengangkan dari sikap yang biasa-biasa. Bagi saya, pembelaan Gus Dur sesuatu yang luar biasa, tapi bagi Gus Dur itu selalu yang biasa, yang dilakukannya. Juga bukan hal yang pribadi -karena yang dibela soal kebebasan berpendapat.
Soal cium tangan ini Gus Dur kemudian sekali menolak. Bukan karena apa, melainkan saat itu Gus Dur mulai sering cuci darah dan tangannya masih sakit terkena infus. “Nanti saja kalau sudah sembuh.” Sayangnya, tangan kiri-kanan tak segera membaik.
Tanggung Jawab
Semasa menjabat sebagai Presiden RI pun gaya Gus Dur tak banyak berubah. Masih selalu terbuka -dan ini tidak biasa- menerima teman-teman seniman, di Istana Negara. Kadang pengawal direpotkan, karena para tamu tidak tercantum namanya dalam daftar undangan. Kalaupun kemudian dikonfirmasikan, ya tetap diterima. Kadang pertemuannya pun tak berbeda dengan di luar Istana. Pernah waktu buka puasa bersama, Umar Kayam, almarhum, yang waktu itu sudah agak sakit, duduk di kursi. Sementar Gus Dur duduk lesehan di bawah. Pembicaraan tetap terbuka, berlangsung tanya jawab ke sana kemari dengan orang nomor satu di republik ini.
Kadang sedemikian terbuka. Dalam rangka menyambut Hari Anak, saya mewawancarai bersama penyanyi cilik, Yoshua. Gus Dur bicara berapi-api, situasi politik sedang memanas, dengan menyebut nama-nama tokoh lain. Saya berusaha mengingatkan. “Gus, ini direkam, kamera tv masih nyala.” Jawabannya? “Sekarang menjadi tanggung jawabmu. Kamu yang menentukan disiarkan atau tidak.”
Begitulah, dengan gayanya, Gus Dur’s way, hal -hal yang mendasar ditularkan, dibagi, tanpa ketegangan.
Terakhir kali bertemu Gus Dur, di kediamannya di Ciganjur, saat berbuka bersama anak-anak yatim piatu, dan saya diminta memberikan sambutan. Pada akhir acara, Gus Dur memuji dan saya berbisik: “Gus, itu tadi kan dari tulisan Gus Dur. Saya sudah katakan di depan, waktu Gus Dur belum datang.”
Masih banyak kisah sesungguhnya dari Gus Dur, yang dialami siapa saja. Dengan segala kearifan, kejenakaan -satu-satunya presiden di dunia yang memiliki koleksi humor terbanyak dan diutarakan terbuka, menyapa, bahkan menghibur. Segala debu segala batu pun akan bercerita, betapa sesungguhnya Gus Dur adalah berkah, adalah kasih, bagi bangsa Indonesia, tanpa terbedakan agama, keyakinan, suku, atau nama asal, atau pakaian yang dikenakan. Gus Dur adalah anugerah bagi bangsa Indonesia yang utuh, yang bisa disentuh.
Saya lebih berharap saat ini Gus Dur sedang tidur tanpa dengkur, dan setiap saat akan terbangun pada mereka -cantrik-cantriknya, santri-santri, anak didik- yang memahami karunianya yang karismatis.
***Penulis adalah budayawan.

Suara Pembaruan

Pidato di PBB dan Istana Rakyat
Gus Dur dalam Kenangan
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membaca sumpah jabatan saat dilantik menjadi Presiden RI pada 21 Oktober 1999. Gus Dur adalah presiden ke-4 setelah menggantikan BJ Habibie.
Banyak kenangan yang tersisa di hati para wartawan yang meliput di Istana Kepresidenan selama Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat presiden. Kenangan itu masih melekat hingga kini.
Meliput Istana Kepresidenan di era merupakan periode paling sibuk. Wartawan tidak berani meninggalkan lokasi kalau belum yakin Gus Dur tidak akan menemui tamu lagi. Jadwal Gus Dur padat karena tamu-tamunya beragam. Kadang-kadang beliau sudah menerima tamu pukul 06.30 hingga malam hari. Bukan hal yang luar biasa, kalau wartawan sudah di Istana pada pukul 07.00 dan baru meninggalkan istana saat matahari tenggelam. Bahkan, beberapa kali hingga lewat tengah malam.
Walaupun lelah mengikuti acaranya yang kesekian dalam sehari, wartawan tidak berani membiarkan acara Gus Dur tidak diliput. Takut kecolongan berita. Bukan apa-apa, Gus Dur sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan tak terduga. Pidato-pidato Gus Dur dalam berbagai acara, yang sering menjadi berita spektakuler. Jadi, jangan coba-coba membiarkan acara Gus Dur tidak diliput.
Pidato di PBB
Pidato resmi ataupun dalam acara informal mesti dicermati. Gus Dur berbicara tanpa naskah pidato karena kesehatan matanya terganggu. Ketika tampil di depan Majelis Umum PBB di New York, Gus Dur membuat banyak orang berdecak kagum. Gus Dur berpidato dalam bahasa Inggris tanpa teks dalam waktu yang cukup lama, dengan gagasan yang mengalir runut. Tanpa catatan kecil sekalipun, Gus Dur bisa berbicara lancar.
Pada saat salat Jumat, ada warga yang berniat mendonorkan matanya untuk Gus Dur. Dengan santun Gus Dur berterima kasih. “Saya tidak apa-apa dengan kondisi ini. Kalau ingin mendonorkan mata, silakan ke Jakarta Eye Center, Jalan Cik Di Tiro. Saudara bisa mendonorkan untuk orang yang lebih membutuhkan.”
Selama menjabat presiden, Gus Dur salat Jumat di tempat berbeda dalam sebulan. Ia membaginya antara masjid di Istana Merdeka, depan rumahnya, dan masjid-masjid lainnya di wilayah Jabotabek. Tujuannya, untuk memberikan kesempatan bagi rakyat melontarkan pertanyaan, komentar, ataupun unek-unek.
Pernah ketika salat Jumat di depan masjid depan rumahnya, khatib menyinggung soal kerusuhan yang menurutnya disebabkan oleh pihak ketiga. Gus Dur, seperti biasa, terlihat menganggukkan kepala bukan tanda setuju, melainkan tanda mengantuk. Bahkan mungkin sudah tertidur pulas. Namun, begitu gilirannya, Gus Dur merespons khotbah khatib tadi. Ia mengingatkan agar tidak gampang menyalahkan orang atau menuding pihak ketiga kalau ada masalah. Gus Dur meminta agar semua pihak tidak lagi meniru gaya Orde Baru, yang suka mencari kambing hitam untuk ketidakbecusan menyelesaikan masalah. Oh, rupanya Gus Dur tidak tidur.
Itulah sikap tegas Gus Dur. Siapa pun berani dikritiknya. Keberanian dia juga terlihat ketika terjadi unjuk rasa Laskar Jihad ke Istana. Ratusan anggota Laskar Jihad yang mengenakan jubah dan sorban putih berdemonstrasi sambil membawa pedang. Mengetahui itu, Gus Dur justru mengundang mereka masuk ke Istana. Jadilah beberapa perwakilan Laskar Jihad masuk ke kompleks Istana Merdeka. Penampilan mereka yang menyeramkan karena membawa senjata tajam tidak menyurutkan nyali Gus Dur. Beliau lebih suka berbincang dan berdialog.
Banyak hal baru yang dilakukan oleh Gus Dur. Apalagi ketika itu, Gus Dur tinggal di Istana Merdeka. Praktis antara kediaman resmi dan kantor menyatu di satu gedung.
Ia menghendaki agar Istana Merdeka yang megah bisa didatangi rakyat biasa. Tak heran kalau di era Gus Dur, tamu-tamu Istana bukan hanya orang yang mengenakan setelan jas necis lengkap dengan dasi atau pakaian batik tulis halus, melainkan juga rakyat jelata yang mengenakan sandal dan pakaian bersahaja. Hal ini terlihat nyata, terutama ketika Gus Dur akan dimakzulkan. Pada hari-hari terakhir Gus Dur di Istana, orang datang silih berganti. Dari petinggi NU, politisi, aktivis, hingga ibu rumah tangga dan anaknya, datang memberi dukungan dan doa bagi Gus Dur. Mereka diizinkan masuk oleh Paspamres karena sudah ada imbauan dari dalam untuk tidak terlalu kaku. Itulah yang diinginkan Gus Dur. Ia ingin yang substansial bahwa Istana Merdeka juga milik rakyat, bukan hanya pejabat dan tamu-tamu elite. Itulah keinginan Gus Dur, membuat Istana Merdeka bisa dijejaki oleh rakyatnya.
Ketika Gus Dur akhirnya harus melepas kursinya, masyarakat penuh sesak di depan pagar Jalan Merdeka Utara untuk mengiringinya keluar dari gerbang Istana Merdeka.
Salah satu pengalaman yang menegangkan adalah saat Gus Dur berkeinginan untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada Minggu tanggal 22 Juli 2001. Kondisi ketika itu, mulai dari pukul 08.00 WIB, Istana Merdeka sudah banyak wartawan yang hadir. Dengan beranjaknya waktu ke siang hingga malam hari, situasi di Istana juga ikut memanas.
Dukungan dari warga kepada Gus Dur yang berdemo di Jalan Merdeka Utara, makin siang juga jumlahnya makin banyak. Jumlah tersebut tidak berkurang hingga malam hari. Situasi bertambah tegang, pada malam harinya, banyak tokoh-tokoh pendukung Gus Dur hadir ke Istana. Ketegangan itu masih terbawa hingga dini hari, pada hari berikutnya. Karena para menteri dipanggil ke Istana Merdeka. Paling tidak, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Agum Gumelar, sekitar pukul 01.00 WIB keluar dari Istana Merdeka dengan wajah tegang dan berusaha menghindar dari kejaran wartawan.
Seperti telah tercatat dalam sejarah, pada Senin, tanggal 23 Juli 2001 dini hari, Gus Dur mengeluarkan Maklumat Presiden. Wartawan mendapat isi lengkap maklumat tersebut dari Juru Bicara Kepresidenan Yahya Staquf, yang membacakannya ketika itu. Maklumat tersebut, antara lain adalah membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat. [SP/Marcellus Widiarto dan Yohanna Ririhena]

Suara Pembaruan

Konsisten hingga Akhir Hayat

Peti jenazah KH Abdurrahman Wahid diturunkan dari pesawat Hercules TNI AU, seusai mendarat di Bandara Internasional Djuanda, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (31/12).
Tak salah bila banyak orang menilai pemikiran KH Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur melampaui pemikiran orang kebanyakan pada masanya. Pemikiran Gus Dur kerap jauh melintasi ruang dan waktu. Konsistensinya dalam menegakkan kehidupan demokrasi, menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme, memihak kelompok minoritas, serta aktif memantau perkembangan dunia, tetap terjaga hingga akhir hayatnya.
Buktinya, beberapa jam sebelum mengembuskan napas terakhir pada Rabu (30/12) pukul 18.45 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Gus Dur masih meminta orang dekatnya membacakan berita dari majalah Gatra tentang pemilu di Cile dan kondisi Israel.
“Sekitar jam 12 siang, Bapak meminta saya membacakan berita dari majalah Gatra,” kata Bambang Susanto yang menemani Gus Dur pada saat-saat terakhir.
Saat itu Gus Dur dirawat di kamar A 116 RSCM, karena kondisi kesehatannya menurun setelah berziarah di Jombang, Jawa Timur. Presiden keempat RI itu masuk RSCM sejak Sabtu (26/12). Dalam kamar itu hanya ada putri bungsunya, Inayah Wulandari, asisten pribadi Sulaiman, dua pengawal pribadi, serta Bambang Susanto sendiri.
Tiba-tiba, kata Bambang, Gus Dur mengeluh sakit di bagian paha ke bawah dan minta dipijat. Kondisi kesehatan Gus Dur terus menurun sehingga harus dibawa ke gedung Pelayanan Jantung Terpadu RSCM di lantai lima atrium dua untuk keperluan tindakan medis. Di dalam ruang perawatan itu hanya ada tim dokter yang dipimpin Yusuf Misbach. Tak ada seorang pun anggota keluarga di ruangan itu, termasuk istri Gus Dur, Sinta Nuriyah yang tiba di RSCM pukul 12.30 WIB.
“Agak sore, dokter meminta tambahan darah golongan O. Sekitar pukul setengah lima, Bapak masih meminta audio book, saya pikir keadaan Bapak sudah enakan. Namun, sekitar pukul enam sore, dokter Yusuf mengatakan kondisi Bapak kritis karena tekanan darah drop,” katanya.
Dalam kondisi yang kritis itu, sekitar pukul 18.15 WIB, hanya Presiden SBY ditemani menantu Gus Dur, Dhohir Farisi, bersama tim dokter, yang berada di kamar tersebut. “Saya tidak tahu kejadian dalam ruangan itu, karena yang ada hanya Presiden SBY, menantu Gus Dur, dan tim dokter,” ujar Bambang. Akhirnya, pada pukul 18.45 WIB, Gus Dur meninggalkan dunia untuk selamanya.
Islah dengan Soeharto
Salah satu yang menonjol dari kehidupannya Gus Dur adalah perseteruannya dengan mantan Presiden Soeharto.
Menjelang Muktamar ke-29 NU pada 1994 di Tasikmalaya, Jabar, Gus Dur menominasikan diri untuk masa jabatan ketiga. Pencalonan ini ditentang Soeharto dengan menolak disambut dan bersalaman dengan Gus Dur pada prosesi pembukaan muktamar. Pascamuktamar, dimana Gus Dur tetap terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, perseteruan keduanya semakin meruncing.
Dua tahun kemudian, para ulama sepuh mencoba mencari jalan untuk mencairkan hubungan Gus Dur dengan Soeharto. Dalam Munas Asosiasi Pondok Pesantren se Indonesia di Ponpes Zainul Hasan, Genggong, Pajarakan, Probolinggo, keduanya akhirnya saling berjabatan tangan pertanda islah. (SP/Aries Sudiono/Anselmus Bata).

Suara Pembaruan

Tokoh Dialog Antarumat Beragama
Istri mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Sinta Nuriyah dikawal petugas saat mengiringi jenazah Gus Dur ke mobil jenazah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, Rabu (30/12). Gus Dur meninggal dunia karena sakit.
[JAKARTA] Kepergian KH Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur telah menimbulkan duka yang mendalam bagi bangsa ini. Gus Dur adalah sosok pemimpin, bangsawan, dan tokoh bangsa yang tidak ada duanya.
“Gus Dur adalah bapak dialog antaragama internasional, khususnya tiga agama Abraham, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi. Dia tidak pernah ragu membela yang lemah dan didiskriminasi. Contohnya, dia menjadi pembela ulung bagi etnis Tionghoa dan akhirnya menjadikan Imlek sebagai hari nasional. Dia adalah bapak kultural yang humanis, nasionalis dan demokratis,” ujar rohaniwan Mudji Sutrisno di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), beberapa saat setelah Gus Dur mengembuskan nafas terakhir pada pukul 18.45 WIB, Rabu (30/12).
Gus Dur yang pada beberapa waktu terakhir rutin mencuci darah di RSCM, tiga kali seminggu, sebelumnya kembali menjalani perawatan inap seusai pulang dari rangkaian kegiatan di Jawa Timur. Ketua tim dokter yang menangani Gus Dur, Yusuf Misbach mengatakan, mantan Presiden RI itu dirawat di RSCM sejak Sabtu (26/12).
Pada Senin (28/12), Gus Dur harus menjalani pencabutan gigi untuk mengurangi dan mengantisipasi infeksi, karena dia menderita diabetes. Infeksi akan muncul jika gigi yang bermasalah tersebut tidak dicabut.
“Gus Dur juga menderita komplikasi dan gangguan pada pembuluh darah, jantung, ginjal, serta diabetes. Pada Selasa (29/12), Gus Dur menjalani cuci darah terakhir. Kondisinya menurun pada Rabu siang dan segera dibawa ke ruang pelayanan intensif. Dia mengalami kritis sejak pukul 18.00 dan akhirnya Gus Dur pergi untuk selamanya sekitar pukul 18.45 WIB,” kata anggota tim dokter Akmal Taher.
Sebelumnya, Gus Dur sempat dibesuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan beberapa sahabat, keluarga, serta orang-orang dekatnya. Begitu banyak pejabat negara dan tokoh-tokoh bangsa berduka dan melayat Gus Dur sejak dari RSCM hingga kediamannya di Ciganjur.
“Saya datang untuk menyatakan belasungkawa yang mendalam. Gus Dur sangat pantas dijenguk banyak orang. Beberapa hari yang lalu, saya sempat meminta maaf ke Gus Dur, jika selama ini pernah membuat kesalahan. Gus Dur sosok yang luar biasa bagi saya,” kata Menkumham Patrialis Akbar.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, yang pernah tidak sepaham dengan Gus Dur di PKB, juga datang melayat jenazah pamannya itu. Cak Imin, demikian dia akrab disapa, tidak mau berkomentar.
Salah satu Menteri muda di KIB II itu meneteskan air mata duka bagi Gus Dur, yang sebelum meninggal sempat bersilaturahmi ke kediaman KH Mustofa Bisri di Rembang, Jawa Tengah dan berziarah ke makam Nyai Fatah di Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang.
Gus Dur memiliki pendekatan dan kultur demokrasi yang khas. “Dia memperlakukan Papua dengan hati dan bersuasana kultural. Bukan dengan kekuasaan, apalagi yang represif. Masyarakat Papua pasti sangat merasa kehilangan,” kata tokoh muda Papua Velix Wanggai. [EMS/O-1]

Suara Pembaruan

Gus Dur Pembela Kaum Lemah
Ratusan aktivis kemanusiaan, bersama kaum Nahdliyin Yogyakarta, mengenang Gus Dur di Tugu Yogyakarta, Kamis (31/12) dini hari. Acara dipimpin Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY Mochamad Maksum.
[YOGYAKARTA] Sampai hari ini, belum ada tokoh yang mampu menyamai mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), baik dari dalam Nahdlatul Ulama (NU) maupun di luar NU. Sikap-sikap kritis Gus Dur yang selalu bertolak belakang dengan pandangan umum, mencerminkan dedikasi Gus Dur untuk perjuangan kemanusiaan.
Gus Dur itu adalah pembela kaum lemah. “Di saat pemerintahan Gus Dur, warga keturunan Tionghoa di Indonesia mendapatkan tempat yang sama. Kong Hu Chu diakui sebagai salah satu agama resmi dan perayaan Imlek tidak lagi dilangsungkan dengan sembunyi-sembunyi. Saya kira masih banyak perjuangan Gus Dur yang tidak terlihat oleh kita. Tokoh-tokoh Tionghoa merasa kehilangan, semua anak bangsa dan saya benar-benar merasa kehilangan,” kata Ketua Pimpinan Wilayah NU DIY Mochamad Maksum, di Yogyakarta, Kamis (31/12).
Kepergian Gus Dur cukup menyentak masyarakat Indonesia sekaligus membangunkan kesadaran bahwa perjuangan untuk menegakkan keadilan belum selesai. Sosok Gus Dur yang penuh dengan kontroversi justru menjadikan bangsa ini akrab dengan ‘bahasa’ demokrasi, termasuk membuka seluruh saluran kebersamaan.
Seluruh elemen masyarakat di Yogyakarta berduka dan untuk mewujudkannya, ratusan masyarakat Rabu (30/12) malam menjelang Kamis (31/12) dini hari, berkumpul di Tugu untuk merenung bersama, sekaligus menyalakan lilin dan tabur bunga.
Dipimpin M Maksum, ratusan warga yang terdiri dari aktivis pergerakan ‘98, Forum Persatuan Umat Beriman, komunitas masyarakat pinggiran hingga mahasiswa, mengusung foto Gus Dur sekaligus memancangkan bendera setengah tiang.
Fenomenal
Prof. Yusni Sabi, mantan Rektor IAIN Ar-Raniry mengatakan, sosok Gus Dur sangat fenomenal. Pikiranya luwes, gagasannya cerdas, pola kepemimpinnya demokratis. Pada masa kepemimpinannya, budaya Tionghoa diakui dan mampu mempersatukan lintas agama. Dia juga memperjuangkan kebebasan dalam berekspresi.
Gus Dur juga ikut merintis lahirnya perundingan untuk menyelesaikan konflik di Aceh dengan mengirim utusan guna melakukan negosiasi dengan para petinggi GAM waktu itu, katanya.
Warga keturunan Tionghoa di Makassar, Sulawesi Selatan sangat kehilangan atas kepergian Gus Dur, seorang tokoh yang dianggap sangat berjasa telah memanusiakan warga keturunan. “Kami sangat berkabung atas wafatnya Gus Dur dan merasa kehilangan tokoh yang paling berjasa yang telah memanusiakan kami,” ujar Pieter Gozal, tokoh Tionghoa di Makassar. [152/147/148/WMO/141/142/ 151/146/154/070/080/153/149]

Suara Pembaruan

Gus Dur Rela Dihujat demi Kerukunan
SP/Ignatius Liliek
Mantan Presiden RI Ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersalaman dengan Bhante Sukhemothera pada gelar doa bersama di Wahid Institute, Jakarta, Jumat (28/7/2006).
[JAKARTA] Sejumlah tokoh lintas agama dan rakyat Indonesia seluruhnya merasa kehilangan dengan wafatnya mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Mereka menilai, Indonesia sulit menemukan sosok seperti Gus Dur, yang rela dihujat demi membela kaum minoritas dan mempertahankan kerukunan beragama. Banyak tokoh saat ini sangat pragmatis dan sarat kepentingan politik subjektif, sesuatu yang jauh berbeda dengan Gus Dur.
Romo Benny Susetyo dari Konferensi Waligereja (KWI) kepada SP, Kamis (31/12), mengatakan, bangsa ini telah kehilangan tokoh nasionalis tulen. Gus Dur adalah sosok yang berani menghadapi risiko apa pun untuk membela dan mempertahankan keindonesiaan yang pluralis. Gus Dur selalu memperjuangkan keadilan sosial bagi kelompok minoritas.
“Tidak hanya fenomenal, tetapi dia juga pemikir besar, brilian, dan punya cita-cita agar Indonesia menjadi negara yang besar, yakni negara yang menghargai perbedaan, dan potensi yang ada,” kata Romo Benny.
Romo yang mengaku mempunyai hubungan fundamental dengan Gus Dur ini mengatakan, sulit bagi Indonesia mendapatkan sosok pengganti seperti Gus Dur. Bagi Romo, pesan terakhir Gus Dur yang paling berkesan adalah mencintai kaum fundamentalis, bukan memusuhinya. “Fundamentalis harus dikasihani dan mendekati mereka,” kata Romo Benny, mengutip pernyataan Gus Dur.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Andreas Yewangoe mengatakan, Gus Dur sosok yang selalu memperhatikan relasi dan kerukunan antarumat beragama. Hal ini ditunjukkan dengan sikapnya yang selalu terbuka dengan kelompok mana pun, tanpa diskriminasi.
“Gus pernah hadir di Sidang Raya PGI di Palangka Raya. Ini menunjukkan dia seorang nasionalis, tidak membeda-bedakan orang di negeri ini. Bagi umat Kristen, dia relasi yang sangat baik,” ucapnya.
Gus Dur juga, lanjutnya, adalah pembela bagi golongan yang dianggap kecil di negeri ini. Baginya, demokrasi sejati adalah kaum minoritas memperoleh hak-haknya.
Bahkan, sikapnya yang selalu kontroversial dalam membela kerukunan antarumat beragama pun dikenal hingga dunia internasional. “Yang paling fenomenal ketika dia membela agama Konghucu yang tidak diakui oleh pemerintahan kala itu. Ketika dia menjadi presiden, Konghucu kemudian diakui sebagai salah satu agama di Indonesia,” katanya.
Agamawan Sejati
Jiwa nasionalisme Gus Dur yang tinggi, lanjut dia, menurun dari ayahnya KH Wahid Hasyim dan kakeknya KH Hasyim Asy’ari.
Sementara itu, Ketua Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Abdul Muhaimin mengatakan, bangsa ini kehilangan agamawan sejati. Dia dikenal sebagai perekat agama, yang semangat spiritualnya tinggi untuk merangkum semua agama dengan segala perbedaannya. “Saya rasa semua agama merasa kehilangan. Tetapi ini juga pelajaran bagi kita semua untuk melanjutkan cita-citanya menciptakan kerukunan,” katanya.
Menurut Abdul, Indonesia sulit menemukan sosok seperti Gus Dur. Banyak tokoh sekarang ini yang pragmatis dan dipengaruhi oleh kepentingan subjektif. Sangat berbeda dengan Gus Dur yang rela dihujat demi membela kelompok lain, terutama kaum minoritas dan mempertahankan kerukunan beragama.[D-13]

Suara Pembaruan

Gus Dur, Tokoh Politik yang Sangat Berbudaya
Gus Dur menunjukkan buku berjudul “Gus Dur Bertutur” seusai peluncuran buku tersebut di Semarang, beberapa tahun yang lalu.
[JAKARTA] Di mata budayawan Butet Kertaradjasa, Gus Dur adalah sosok yang luar biasa. Bahkan, Butet menyebut Gus Dur sebagai se- orang sufi karena mampu mengolok-olok dan menertawakan diri sendiri. Sesuatu yang jarang bisa dilakukan orang lain.
“Beliau memang sosok yang humoris sekali. Humor tertinggi adalah saat sese- orang bisa menertawakan diri sendiri. Itu sudah sekelas sufi. Dan, Gus Dur sudah pada tingkat itu. Ia bisa menciptakan kejenakaan dengan mengolok-olok dirinya sendiri. Itu menunjukkan kematangan jiwa seseorang,” tutur Butet kepada SP, Kamis (31/12).
Selain itu, Butet juga mengaku kagum akan semangat Gus Dur menjunjung tinggi pluralisme, menghargai, dan menghormati keragaman di Indonesia. Apalagi, ia melanjutkan, salah satu ciri kebudayaan Indonesia adalah keberagaman itu sendiri. “Gus Dur adalah penjaga nilai spirit pluralisme yang diamanatkan pendiri bangsa ini,” katanya.
Selama menjadi budayawan, Butet mengaku kerap bertemu dan bersinggungan dengan Gus Dur. Bahkan tak jarang, Butet melontarkan guyonan tentang Gus Dur dalam pentas monolog yang dihadiri oleh sang mantan presiden itu. Bukannya tersinggung, Gus Dur malah tertawa karena beliau juga menyukai humor.
Oleh karena itu, Butet merasa sosok Gus Dur haruslah diteladani banyak pihak, terutama para birokrat dan politikus Indonesia. “Namun, saya yakin, kader-kader Gus Dur, yakni para intelektual muda NU juga mengusung semangat pluralisme. Saya tidak cemas atau khawatir karena Gus Dur menyisakan warisan berupa kader-kader yang bisa menjunjung semangat pluralisme. Kita masih ada Gus Mus, Ulil, Muslim Abdurrahman, Komarudin Hidayat, Yudi Latief, orang-orang Islam yang moderat,” kata Butet.
Berbeda
Sementara itu, seniman kawakan Indonesia, Slamet Rahardjo Djarot menjelaskan, seperti halnya Presiden pertama RI, Soekarno, Gus Dur membuat dirinya berbeda dengan para politisi bangsa Indonesia saat ini karena dia seorang budayawan.
“Artinya, sebagai seorang budayawan, Gus Dur memiliki jiwa seni dan sosial yang tinggi. Sehingga, ketika dia terjun ke dunia politik, beliau mewarnai semuanya itu dengan kekayaan berkesenian yang beliau miliki dan dalami. Lahirnya pluralisme, merupakan salah satu keputusan Gus Dur sebagai seorang budayawan yang berpolitik. Harus diakui, soal pluralisme ini, merupakan langkah berani Gus Dur dalam mengambil risiko,” kata Slamet.
Lebih lanjut, pemain film, teater, dan sutradara ternama Indonesia menambahkan, segala kepiawaian yang dimiliki Gus Dur, khususnya untuk bangsa ini, tidak bisa dilepaskan dari kehidupan beliau dari sisi budaya yang tentunya sangat mengedepankan keindahan. “Yang jelas, di mana ada krisis, di situ ada Gus Dur sebagai sang penyelamat. Di mana ada ketidakadilan di situ ada Gus Dur sebagai sang pengadil,” ujarnya.
Kematian itu, kata Slamet, adalah keniscahyaan. Jarang sekali ada orang yang meninggal secara terhormat seperti Gus Dur. Maka, banggalah keluarga punya ayah dan suami yang sangat berjasa buat negara. [D-10/F-4].
Firasat Gus Dur Sebelum Wafat
Kamis, 31/12/2009 | 04:55 WIB FIRASAT wafatnya Gus Dur sudah terasa sejak Gus Dur berziarah terakhir ke makam kakek dan ayahnya di Tebu Ireng, Jombang. Adik kandung Gus Dur KH Salahudin Wahid yang juga pengasuh Ponpes Tebu Ireng mengaku dirinya sudah diberi sinyal dan firasat saat Gus Dur ke Jombang.
“Gus Solah bercerita pada kami beberapa hari lalu di kediamannya. Gus Solah kaget dan heran tiba-tiba Gus Dur bilang, ‘dik mengko tanggal 31 jemputen aku nang kene‘ (Dik, nanti tanggal 31 jemput saya di sini,” kata salah satu ketua PP GP Ansor Maskut yang mendapat cerita dari Gus Solah, Kamis (31/12).
Menurut Maskut, Gus Solah juga sudah merasa tidak enak saat Gus Dur memanggil dirinya dengan sebutan ‘dik’ (adik). Sebab, selama ini panggilan Gus Dur kepada Gus Solah selalu ‘Los’ kebalikan dari ‘Sol’ panggilan akrab Salahuddin Wahid sejak kecil.
“Gus Solah juga mengaku rasa herannya saat Gus Dur memanggil dirinya dengan ‘dik’. Padahal seumur-umur kalau memanggil Gus Solah dengan ‘Los’. Atau memanggil Gus Umar dengan pangilan ‘Ram’, kebalikan Mar,” paparnya.
Pernyataan Gus Dur ini dimaknai Gus Solah sebagai bentuk wasiat. Karena itu sejak awal, Gus Solah menegaskan bahwa bani Hasyim memang kalau meninggal dimakamkan di Tebu Ireng. Apalagi tokoh sekaliber Gus Dur.
Dipanggil Mbah Hasyim
Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Gus Dur sempat memberi tahu putri pertamanya Alissa Qatrunnada bahwa dirinya dipanggil Kakeknya, Hasyim Asy’ari. Alissa pun mengaku tak tahu arti cerita ayahnya. “Memang waktu bapak di Jombang, bapak bilang sama saya. ‘Saya kok merasa dipanggil oleh Mbahmu, Hasyim Asy’ari. Saya nggak tahu apa ini artinya itu,” ujar putri pertama Gus Dur, Alissa Qatrunnada.
Hal itu disampaikan Alissa saat jumpa pers di kediaman Gus Dur, Jl Warung Sila X, Ciganjur, Jakarta Selatan, Kamis (31/12) pukul 00.20 WIB.
Alissa menambahkan proses Gus Dur sakaratul maut hingga menghembuskan nafas terakhir sangat cepat dan lancar. “Proses bapak meninggal Alhamdulilah sangat cepat dan lancar. Dan saat itu didampingi ibu (Shinta Nuriyah), Mbak Inayah (Inayah Wulandari, putri terakhir Gus Dur) dan Faris (Dhohir Farisi, menantu Gus Dur dan suami Yenny Wahid),” ungkap putri Gus Dur ini.
Peci ‘Presiden RI’
Salah satu peninggalan penting Gus Dur adalah kopiah yang terbuat dari akar-akaran bertuliskan ‘Presiden RI’ dan ‘Gus Dur’. Gus Dur sangat sering mengenakan kopiah ini saat menjadi Presiden. Peci ini diberikan Gus Dur diberikan kepada Abdul Mudjib Manan dengan disertai surat bermaterai.
Abdul Mudjib Manan adalah kawan lama Gus Dur saat kuliah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Pada tahun 2001, Gus Dur menarik Abdul Mudjib ke Jakarta dan dijadikan sebagai Sekretaris Presiden. Abdul Mudjib mendampingi Gus Dur hingga masa-masa terakhir Gus Dur berada di Istana Merdeka.
Sebagai kenang-kenangan, Gus Dur memberikan kopiah ‘Presiden RI’ kepada Abdul Mudjib tak lama setelah lengser. Peci ini sangat bersejarah, karena dipakai Gus Dur saat mengumumkan dekrit Presiden RI tentang pembubaran DPR dan Partai Golkar.
Sebagai otentifikasi terhadap pemberian kopiah itu, Gus Dur menuliskan surat penyataan yang ia tandatangani pada 24 Juli 2001, saat yang sama ketika Gus Dur meninggalkan Istana.
Dalam selembar surat bermaterai Rp 6.000 itu, Gus Dur menyatakan telah memberikan peci kepada Abdul Mudjib Manan. Di surat tersebut ditulis ciri-ciri peci tersebut antara lain: terbuat dari bahan sejenis akar-akaran, di kedua sisi tertulis Gus Dur dan Presiden RI. Dalam surat disebutkan juga “Peci tersebut saya pakai pada saat dibacakan dekrit Presiden RI pada tanggal 23 Juli 2001″.
“Jadi kita tidak mengaku-aku, karena ini ada surat penyataan yang langsung ditandatangani Gus Dur,” kata Achmad Seno Aldinata, putra kedua Alm Abdul Mudjib Manan, saat ditemui detikcom di rumahnya, di Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (30/12/2009) malam.
Hingga saat ini, Seno dan keluarganya masih menjaga dan merawat kopiah tersebut. Abdu Mudjib Manan yang telah meninggal dunia pada 2006 lalu juga telah mewasiatkan kepada keluarganya untuk menjaga benar-benar kopiah tersebut.
Berikut surat Gus Dur kepada Abdul Mudjib selengkapnya:
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : KH Abdurrahman Wahid
Pekerjaan: mantan Presiden RI ke IV
Alamat: Jalan Warung Sila, Gg Munawaroh, Ciganjur-Jakarta
Menyatakan bahwa saya telah memberikan sebuah peci kepada:
Nama: Abd Mudjib Manan
Pekerjaan:  – mantan Sekretaris Presiden RI
- Dosen Fakultas Dakwan IAIN Sunan Ampel Surabaya
Alamat: Makarya, Binangun Blok G no 17, Waru Sidoarjo
Adapun ciri-ciri peci tersebut, antara lain:
1. Terbuat dari bahan sejenis akar-akaran
2. Di kedua sisinya bertuliskan ‘ Gus Dur Presiden Republik Indonesia’
3. Peci tersebut saya pakai pada saat pengumuman Dekrit Presiden RI pada tanggal 23 Juli 2001
Demikian pernyataan surat ini saya buat untuk digunakan seperlunya
Jakarta, 24 Juli 2001
Yang menyatakan
materai+ttd
KH Abdurrahman Wahid
Biografi Gus Dur
Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur menjabat Presiden ke-4 RI mulai 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001. Beliau lahir tanggal 4 Agustus 1940 di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya adalah seorang pendiri organisasi besar Nahdlatul Ulama, yang bernama KH. Wahid Hasyim. Sedangkan Ibunya bernama Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Dari perkawinannya dengan Sinta Nuriyah, mereka dikarunia empat orang anak, yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari .
Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu beliau juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku. Di samping membaca, beliau juga hobi bermain bola, catur dan musik. Bahkan Gus Dur, pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika Gus Dur berada di Mesir.
Sepulang dari pengembaraannya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, beliau bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian beliau menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Beliau kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula beliau merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap `menyimpang`-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Beliau juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-`aqdi yang diketuai K.H. As`ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Selama menjadi presiden, tidak sedikit pemikiran Gus Dur kontroversial. Seringkali pendapatnya berbeda dari pendapat banyak orang.