Mengenal Sosok Gus Dur
Lahir:
Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940.
Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940.
Orang
Tua:
Wahid
Hasyim (ayah), Solechah (ibu).
Istri :
Sinta Nuriyah
Anak-anak :
Alisa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh, Anisa
Hayatunufus, Inayah Wulandari
Pendidikan :
• Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963)
• Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi,
Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
• Fakultas Surat-surat Universitas Bagdad (1966-1970)
Karir
• Pengajar Pesantren Pengajar dan Dekan Universitas Hasyim Ashari Fakultas Ushuludin (sebuah cabang teologi menyangkut hukum dan filosofi)
• Pengajar Pesantren Pengajar dan Dekan Universitas Hasyim Ashari Fakultas Ushuludin (sebuah cabang teologi menyangkut hukum dan filosofi)
• Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)
• Penemu Pesantren Ciganjur (1984-sekarang)
• Ketua Umum Nahdatul Ulama (1984-1999)
• Ketua Forum Demokrasi (1990)
• Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994)
• Anggota MPR (1999)
• Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999-24 Juli
2001)
Penghargaan
• Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
• Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
• Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir
(1991)
Perjalanan Karir
Sepulang
dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi
guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin
Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren
Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali
menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut
gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak.
Djohan
Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur
adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian
diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga tidak heran jika
tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot
note.
Pada
tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di
Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai
sering mendapatkan undangan menjadi nara
sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam
maupun luar negeri.
Gus Dur terlibat dalam
kegiatan LSM. Pertama
di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek
pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh
LP3ES.
Pada tahun 1979 Gus Dur
pindah ke Jakarta. Mula-mula
ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur
dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam
diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik
dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin
serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan,
politik, maupun pemikiran keislaman.
Karier
yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama
sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam
Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada
tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi
yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU
pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada
muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung
Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur
menjabat presiden RI ke-4.
Meskipun
sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin
diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat
tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya.
Sekarang seluruh bangsa Indonesia
ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman
Wahid.
Catatan
perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah
menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah
anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan
non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisai
kaum ‘elit Islam’ tersebut dengan organisasi sektarian.
Dari
paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya
perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam
orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata
sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi,
Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional,
ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan sekuler.
Dari
segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun,
tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka, modern dan
liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang
konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.
Pemikiran
Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang
membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara
pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai
corak pemikirann Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai
yang liberal-radikal.
Dalam
bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para
pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku
yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai
andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari
Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo
telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada
sentuhan-sentuhan kemanusiaan.
Dari segi kultural, Gus Dur
melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama,
Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis,
tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang
terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler.
Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi.
Hampir
tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai
sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya
mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya
dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui
batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.
Pendidikan
Pertama
kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat
serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah
lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di
sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya
bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti
namanya dengan Iskandar.
Untuk
menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik
yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur
dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai
musik klasik.
Menjelang
kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis
(mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah.
Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan
gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa
kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.
Setelah
lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah
ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya
menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar
Bahasa Inggris.
Karena
merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah
Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di
SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’shum
Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi
bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika
menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin
mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai
Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan
beberapa buku dalam bahasa Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya
adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping
itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre
Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin,
Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa
karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’.
Selain
belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan
bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan
siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus
Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota
Partai Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang
sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya
Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar
dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.
Setamat
dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa
Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh
dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan
ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah
bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan
keramat para wali di Jawa.
Pada
saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang
membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah
mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan
dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam
paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum
puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan
menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti:
Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas,
hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada
umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.
Setelah
menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke
Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20
tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi
seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur
berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan
ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar.
Pertama
kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung
masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam
sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata
pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan
kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi
Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang
dikehendaki.
Terdapat
kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan
Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era
keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat
perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara
modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju.
Di
Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad
samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang
berbeda dengan di Mesir. Di kota
seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak
didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan
buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya
secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas.
Di
luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali,
termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah.
Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran
tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya.
Kodisi
politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik
Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya
kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang
dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.
Selepas
belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi
persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian
klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik
di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan
adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas
ke universitas lainnya.
Pada
akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan
Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia
yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke
pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat
pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman
secara mendalam.
Namun,
akhirnya ia kembali ke Indonesia
setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia
pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika
ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai
perjalanan awal kariernya.
Meski
demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus
Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar
doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua
promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar
tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia
justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian
dipertahankan di hadapan sidang akademik. */kpo
Pembebas Tionghoa
Gus Dur, berpakaian congosan
saat dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa, 10 Maret 2004, di Semarang.
JAKARTA–Indonesia
kehilangan satu lagi putra terbaiknya, mantan presiden Republik Indonesia ke-4, Abdurrahman Wahid berpulang pada
Rabu (30/12), pukul 18.45, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Lelaki
yang akrab dipanggil Gus Dur itu dikenal sebagai tokoh fenomenal di Indonesia.
Namun, di antara kisah kontroversi Gus Dur, tak sedikit peran besar yang
ditorehkan lelaki peraih sepuluh gelar dokter kehormatan tersebut.
Salah
satunya, saat menjabat menjabat Presiden
RI pada 1999 – Juli 2001,Gus Dur
telah membuat berbagai keputusan menyangkut sejarah bangsa. Keputusannya adalah
mencabut PP No 14 Tahun 1967 yang berisi larangan atau pembekuan
kegiatan-kegiatan warga Tionghoa.
Dalam
dialog “Living in Harmony the Chinese Heritage in Indonesia” yang digelar menyambut
Hari Imlek di Jakarta, 30 Januari setahun lalu, Gus Dur meyakini Imlek
merupakan perayaan budaya, bukan keagamaan.
“Imlek
itu perayaan tani,” kata mantan presiden yang kini menjabat ketua umum Dewan
Syura Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut.
Gus Dur
sendiri mengaku memiliki aliran darah Cina dalam tubuhnya. Darah Cina itu mengalir dari
Putri Campa yang menjadi selir Raja Majapahit Brawijaya V yang silsilahnya
sampai pada dirinya.
Namun
bukan karena alasan itu dirinya mengizinkan perayaan Imlek secara luas ketika
menjabat presiden, melainkan demi menjaga pluralitas Indonesia.
Ketika PP No 14 tahun 1967
masih erlaku, praktis peribadatan umat Konghucu dan aktivitas-aktivitasnya
harus dipendam. Umat
harus sembunyi-sembunyi untuk bersembahyang di kelenteng. Bahkan untuk
merenovasi kelenteng pun harus melakukan gerakan “bawah tanah”
Setelah
keran yang menyumbat kegiatan itu dicabut, masyarakat Tionghoa boleh dikatakan
terbebas dari belenggu selama puluhan tahun. Mereka bisa sembahyang di
kelenteng tanpa sembunyi-sembunyi. Bahkan berkat Tokoh Nahdatul Ulama itu, Hari
Raya Tionghoa, Imlek pun resmi menjadi hari raya dan hari libur nasional.
Kebebasan
yang diraih oleh kalangan Tionghoa itulah yang juga membuat Gus Dur dinobatkan
menjadi Bapak Tionghoa, 10 Maret 2004 silam. Di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang
Lombok, kawasan Pechinan Semarang, ketika penobatan dilakukan, Gus Dur pun
mengenakan pakaian congosan. berbagaisumber/itz
Gus Dur Wafat, Sempat Ketemu Arwah Kakeknya
Rabu,
30/12/2009 | 20:32 WIB
Jakarta – Mantan Presiden RI KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah wafat dalam usia 69 tahun, Rabu (30/12) sore.
Sebelum meninggal pukul 18.45 WIB, Gus Dur sempat bercerita kepada salah satu
orang dekatnya soal pengalaman spiritual yang dialami.
Menurut
Gus Dur, saat berziarah ke makam kakeknya KH Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng,
Jombang, ia sempat bertemu dan berkomunikasi dengan kakeknya, Mbah Hasyim (KH
Hasyim Asyari, pendiri NU).
“Gus
Dur bercerita kepada saya, saat ziarah ke makam Mbah Hasyim, Gus Dur ditemui
Mbah Hasyim. Gus Dur bercerita soal pengalamannya dengan tenang dan senang
wajahnya,” ungkap sumber
yang tak mau disebutkan namanya, Rabu (30/12).
Menurut
orang yang selalu menemani Gus Dur ini, dalam percakapannya dengan Mbah Hasyim,
Gus Dur mengaku dikasihani. Gus Dur pun hanya tersenyum saat dibilangi kakeknya
tersebut.
“Gus Dur bilang, ‘Mbah Hasyim
kasian sama saya mas’. Mbah
Hasyim mengatakan, Le, kok tugasmu bersih-bersih terus yo? Sing sabar yo? (Nak,
kok tugasmu bersih-bersih terus ya? Yang sabar ya?),” kata sumber itu menirukan
Gus Dur.
Sayangnya,
lanjut sumber itu, Gus Dur tidak melanjutkan lagi ceritanya soal pertemuan
dengan Mbah Hasyim. Gus Dur langsung mengalihkan ke pembicaraan lainnya.
Sementara
menurut tim dokter Kepresidenan, Gus Dur meninggal dunia pukul 18.45 WIB. Gus
Dur mengalami komplikasi dan kritis pada pukul 18.15 WIB sebelum akhirnya
menghembuskan nafas terakhir.
“Dengan
ini kami beritahukan bahwa Gus Dur telah meninggal dunia pada hari Rabu 30
Desember pukul 18.45 WIB,” ujar dr Jusuf Misbach dari tim dokter Kepresidenan
di RSCM, Jakarta Pusat, Rabu (30/12).
Jusuf
menambahkan Gus Dur dirawat sejak 26 Desember 2009 lalu dan kondisinya sempat
membaik. “Namun pada Rabu hari ini pukul 11.30 WIB kondisinya memburuk dengan
komplikasi penyakit stroke, diabetes, jantung dan pada pukul 18.15 WIB
kondisinya kritis. Tepat pukul 18.45 WIB beliau meninggal,” ungkapnya.
SBY
Datang Sebelum Gus Dur Meninggal
Sebelumnya,
saat perawatan di RSCM kondisi kesehatan Gus Dur dikabarkan kritis Rabu (30/12)
sore. Presiden SBY pun menjenguk Gus Dur di RSCM. Kabarnya, SBY mengunjungi Gus
Dur di RSCM karena mendapat laporan dari tim dokter yang merawat mantan
presiden RI tersebut sedang kritis.
“Kabarnya
Beliau (Gus Dur) sedang kritis makanya Pak SBY langsung menjenguk Gus Dur,”
kata sumber
di Istana Kepresidenan yang tidak mau disebutkan namanya, Rabu (30/12).
Menurutnya,
SBY sudah berada di RSCM untuk menjenguk Gus Dur. Pengamanan di sekitar RSCM
terlihat ketat. Sementara sumber
di RSCM menjelaskan bahwa kedatangan SBY mengagetkan pengelola rumah sakit
karena mendadak. Kedatangan SBY memang tidak terjadwal sebelumnya.
Dengan
demikian, Presiden SBY menyaksikan detik-detik terakhir menjelang Gus Dur
meninggal. “Pak SBY tiba sekitar pukul 18.00 WIB dan pulang sekitar pukul 19.00
WIB,” ujar kerabat Gus Dur yang menolak disebutkan namanya di RSCM.
Selain
SBY, sejumlah pejabat negara lainnya juga ada di saat-saat terakhir Gus Dur.
Antara lain Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih. “Dari pihak
keluarga ada di antaranya Mbak Yenny,” ungkapnya.
Sebelumnya,
adik kandung Gus Dur, KH Salahuddin Wahid alias Gus Sholah, mengatakan Gus Dur
menghembuskan nafas terakhirnya pukul 18.45 WIB. “Saya mendapat kabar beliau
meninggal. Kabar yang saya terima beliau meninggal pada pukul 18.45 WIB,” ujar
Gus Sholah.
SBY Batalkan Rencana Kerja
Presiden SBY membatalkan
rencana kerjanya pada Kamis 31 Desember. Hal
ini dilakukan untuk menghormati meninggalnya Mantan Presiden RI Abdurrahman
Wahid alias Gus Dur. “Rencananya besok Presiden akan melakukan kunjungan kerja
ke Cipanas. Tapi acara itu dibatalkan untuk menghormati meninggalnya Gus Dur,”
kata Staf Khusus Presiden Bidang Bencana, Andi Arief di RSCM.
Hingga
pukul 20.15 WIB, sejumlah tokoh terus berdatangan ke RSCM. Mereka antara lain
Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Helmy Faishal Zaini,
budayawan Romo Mudji Soetrisno dan politisi PKB Lukman Edi.
Sementara
itu anggota keluarga masih berada di dalam ruangan tempat jenazah Gus Dur
berada di gedung Pelayanan Jantung Terpadu. Suasana haru masih sangat terasa. Para anggota keluarga tak mampu menyembunyikan kesedihan
atas berpulangnya tokoh bangsa itu.
Presiden
SBY pun menggelar rapat mendadak dengan beberapa menteri di Istana Negara,
untuk membahas prosesi pemakaman Gus Dur. “Sejumlah menteri terkait diminta
datang. Salah satunya Menkes yang akan mengkonfirmasikan kondisi terakhir dan
kapan tepatnya Gus Dur tutup usia,” ujar Jubir Kepresidenan Julian Aldrin Pasha
di Istana Negara, Rabu (30/12).
Menurut
Julian, akan dibicarakan prosesi pemakaman bagi Gus Dur sebagai mantan Presiden RI
sesuai dengan kelaziman. “Termasuk kemungkinan untuk pengibaran bendera
setengah tiang selama seminggu penuh. Saya pikir ini wajar, karena Gus Dur
seoerang tokoh besar,” jelasnya sembari menambahkan, SBY akan memberikan
pernyataan resmi terkait kematian Gus Dur pada pukul 21.00 WIB.
Biografi
Gus Dur
Abdurrahman
Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur menjabat Presiden ke-4 RI mulai 20 Oktober
1999 hingga 24 Juli 2001. Beliau lahir tanggal 4 Agustus 1940 di desa Denanyar,
Jombang, Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya
adalah seorang pendiri organisasi besar Nahdlatul Ulama, yang bernama KH. Wahid
Hasyim. Sedangkan Ibunya bernama Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren
Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Dari perkawinannya dengan Sinta Nuriyah,
mereka dikarunia empat orang anak, yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba
Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari .
Sejak
masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan
perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu beliau juga aktif berkunjung
keperpustakaan umum di Jakarta.
Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan
buku-buku. Di samping membaca, beliau juga hobi bermain bola, catur dan musik.
Bahkan Gus Dur, pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi.
Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop.
Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah
sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri
Festival Film Indonesia.
Masa
remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua
tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya,
Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian
melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah
melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur.
Perkawinannya dilaksanakan ketika Gus Dur berada di Mesir.
Sepulang
dari pengembaraannya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi
guru. Pada tahun 1971, beliau bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu
Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian beliau menjadi sekretaris Pesantren Tebu
Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Beliau kembali
menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut
gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak.
Pada
tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di
Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai
sering mendapatkan undangan menjadi nara
sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam
maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di
LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek
pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh
LP3ES.
Pada tahun 1979 Gus Dur
pindah ke Jakarta. Mula-mula
beliau merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur
dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam
diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik
dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin
serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan,
politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap `menyimpang`-dalam
kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang
cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn
1983. Beliau juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun
1986, 1987.
Pada
tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-`aqdi
yang diketuai K.H. As`ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU
pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada
muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung
Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur
menjabat presiden RI ke-4. Selama menjadi presiden, tidak sedikit pemikiran Gus
Dur kontroversial. Seringkali pendapatnya berbeda dari pendapat banyak orang.
(*/dtc/jpc)
Suara Pembaruan
Pekerjaan Rumah dari Gus Dur
Barang
siapa yang menghina agama orang lain, ia menghina agamanya sendiri.”
Demikianlah pernyataan Gus Dur dalam iklan layanan masyarakat yang penulis buat
pada saat beliau masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Pernyataan
di atas terasa sederhana, namun merefleksikan kenegarawanan dalam beragam perspektif.
Pertama, ketegasan kepemimpinan terhadap nilai pluralisme. Kedua, sikap tidak
tawar-menawar melawan ekstremitas beragama yang menginginkan salah satu agama
menjadi dasar negara. Ketiga, nilai beragama diletakkan dalam bentuknya yang
paling dasar sekaligus mulia, yakni dalam tata nilai hubungan sehari-hari
antarumat manusia.
Sepeninggal
Gus Dur, sesungguhnya pekerjaan rumah semacam apa yang ditinggalkannya?
Daya
hidup, tindakan, dan pikiran Gus Dur, sesungguhnya hidup dan menghidupi bangsa
dari periode menurunnya kekuatan Soeharto hingga sepuluh tahun pasca-Reformasi.
Pada dua periode ini, Gus Dur melakukan dua kerja kebangsaan yang sangat
penting. Pertama, periode Soeharto, dengan caranya yang khas, Gus Dur mengelola
religiositas sebagai daya hidup kebebasan berpikir dan berorganisasi guna
melakukan perlawanan terhadap militerisme dan anrakisme. Kedua, era Reformasi,
Gus Dur terus melakukan kerja tanpa tawar-menawar terhadap berbagai bentuk
ekstremitas beragama, yang tumbuh di masa transisi sekaligus mencoba melakukan
terobosan-terobosan kenegaraan yang sangat tidak mudah yang melahirkan
kontroversi. Termasuk upaya Gus Dur mencoba membangun generasi baru dalam
sebuah dunia baru, yang tidak mudah baginya, di tengah kesehatannya yang
melemah serta dunia politik baru dalam pemilu langsung dalam kerja suara
terbanyak, serta tumpang-tindih konflik kekuasaan intern serta dalam lingkup
berbangsa.
Yang
harus dicatat, kenegarawanan Gus Dur mampu tumbuh didasari beberapa aspek dasar
pertumbuhan. Pertama, tumbuh dan lahir dari tradisi keluarga dan organisasi
keagamaan Islam terbesar yang memiliki relasi kebangsaan yang kuat dengan
nasionalisme sejarah Indonesia.
Kedua, pemikirannya mampu memiliki daya hidup dalam berbagai ruang hidup
berbangsa, dari seni, teknologi, pendidikan, partai, keagamaan, serta
kebangsaan sekaligus dialog keagamaan global. Oleh karena itu, Gus Dur dikenal
mampu berdialog dengan bergam kalangan hingga disiplin ilmu serta profesi.
Ketiga, daya hidup kepemimpinannya mampu hidup dalam beragam waktu krisis, yang
tentu saja, bisa dipahami, melemah seiring melemahnya kesehatannya.
Oleh
karena itu, Gus Dur adalah guru bangsa di tengah arus perubahan besar masa-masa
Soeharto hingga Reformasi. Guru bangsa yang tidak dalam gaya kepemimpinan yang birokrasi, formal, dan
jumawa. Layaknya wayang, Gus Dur adalah tokoh semar ataupun punokawan yang
selalu menjaga nilai-nilai serta para kesatria melewati berbagai tantangan,
dengan lelucon, kenakalan, dan pemikiran, serta kerja kebangsaan yang sangat
egaliter. Dengan kata lain, Gus Dur adalah pengawal Pancasila di berbagai
bentuk transisi dan krisis.
Pengawal
Baru
Pasca-Reformasi
, seperti layaknya masa transisi, melahirkan beragam gejolak serta kerja
kebangsaan dan pemikiran-pemikiran, disertai beragam perubahan tata cara
bernegara, Baik itu, pemikiran ke depan maupun pemikiran ulang terhadap
nilai-nilai kebangsaan, yang tidak bisa bertumbuh pada era Soeharto serta masa
proklamasi. Sebutlah, tafsir sejarah peristiwa September 1965 hingga upaya
kembali meletakkan agama sebagai dasar negara, yang sesungguhnya sudah selesai
dengan lahirnya Pancasila dan UUD 1945.
Bisa
diduga, seluruh pemikiran yang tidak bisa tumbuh pada era Soeharto, maupun yang
mati oleh pemikiran pluralis Pancasila, berupaya ditumbuhkan kembali dalam era
yang penuh transisi serta dibuka lewat pemilu langsung dan suara terbanyak. Era
yang memungkinkan berbagai dimensi pemikiran masuk lewat partai, parlemen
hingga yudikatif, eksekutif, serta berbagai bentuk proses berbangsa lainnya.
Catatan sederhana di atas,
memberikan suatu isyarat bahwa Gus Dur memberikan pekerjaan rumah yang sangat
besar. Yakni, di
tengah era demokrasi suara terbanyak dan langsung, maka diperlukan kepemimpinan
baru yang tidak tawar-menawar terhadap daya hidup Pancasila dengan ketegasan
hukum, serta keberanian nilai kritis, untuk senantiasa melawan segala bentuk
anarkisme minoritas maupun mayoritas keagamaan. Di sisi lain, kepemimpinan itu
dituntut mampu hidup dalam demokrasi suara terbanyak dan langsung, yang penuh
paradoks kekuasaan, cita-cita, kegagapan , serta politik sebagai primadona
baru.
Pada
sisi lain, pekerjaan rumah terbesar yang diberikan Gus Dur adalah lahirnya
kepemimpinan yang mampu memandu masyarakat untuk menjadi penjaga kritis
Pancasila dalam hidup sehari-hari, di tengah era informasi dan komunikasi baru,
serta migrasi besar politik aliran, ideologi, hingga peran kepartaian,
organisasi masyarakat dan politik, yang dipenuhi ketimpangan, krisis dan
bencana serta kepemimpinan yang serba baru dan gamang, dipenuhi euforia
kekuasaan ketimbang menjadi pelayan Pancasila.
Selamat
jalan Gus Dur, Pekerjaan rumah ini adalah sebuah proses dialog panjang dan
memerlukan keberanian kenegarawanan.
***Penulis adalah Direktur Yayasan Sains Estetika dan
Teknologi (SET)
Gus Dur Sebenarnya Sedang Tidur
Arswendo
Atmowiloto
Gus
Dur, barangkali sebutan yang paling demokratis, paling bersahabat, sekaligus
paling hormat dan paling hangat menggambarkan persaudaraan dengan tokoh yang
luar biasa, yang menjila, sang pemilik nama. Semua mulut bisa menyebutkan nama
Gus Dur, semua telinga mengerti siapa yang dimaksud, dan semua hati menaruh
rasa kagum dan rasa hormat yang tinggi. Gus Dur menggambarkan semua yang
terangkum dalam sebutan KH Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI, atau jabatan
apa pun, yang beragam yang pernah digenggam.
Tanyakan
kepada semua posisi atau tokoh masyarakat, baik agamawan, politisi, seniman,
negarawan, tukang ojek, maupun pemulung, mereka bisa menceritakan
pengalamannya. Tanyakan kepada angin, kepada hujan, atau pepohonan, mereka bisa
mengatakan hal yang sama. Tanyakan kepada debu atau batu, jawaban mereka tak jauh
berbeda. Dalam budaya Jawa, Gus Dur adalah lakone, sang tokoh utama dalam
segala perkara yang boleh apa saja, dan bisa. Segala yang luar biasa pantas
disandangkan padanya. Sebaliknya, segala yang biasa menjadi luar biasa. Maka
kepergiannya yang abadi, Rabu, 30 Desember 2009, di RSCM Jakarta, dalam usia 69 tahun, sesungguhnya
diterima sebagai tidur sementara. Tidur tanpa mendengkur, seperti kebiasannya
selama ini.
Tradisi
Guru
bangsa yang memperjuangkan demokrasi, pluralisme budaya, dan hak-hak kemanusiaan
ini, mempunyai riwayat yang dekat dengan siapa saja, mempunyai jalan awal yang
tak berbeda dari kita pada umumnya. Pada awal tahun 70-an, saya masih ingat Gus
Dur datang dengan Vespa -kemudian lebih sering diboncengkan, ke redaksi Kompas
di Palmerah Selatan, Jakarta.
Menunggu mesin ketik yang kosong, kemudian mengetik apa saja: komentar film,
pertandingan sepak bola, atau soal politik. Yang unik bukan apa yang
dituliskan, melainkan pembicaraan yang mengganggunya saat mengetik. Para wartawan mengerumuni, bertanya apa saja. Dan dijawab
dengan ringan menawan. Jauh sebelum idiom, “gitu aja kok repot”, Gus Dur telah
menjalaninya dengan sederhana, dengan biasa. Kalau hanya begitu, kurang seru.
Karena “tradisi” ini juga terjadi pada majalah Zaman, yang diterbitkan oleh
grup Tempo. Padahal, sebenarnya kedatangannya ke sana untuk menjemput istrinya yang menjadi
redaktur di situ. Sambil menunggu, bisa mengetik artikel dan memberikan
pembekalan kepada wartawan-wartawan yang masih terlalu hijau dalam bekerja.
Tapi, begitulah Gus Dur, tak membedakan senior-yunior, tak membedakan kelompok
mana.
Saya juga pernah menikmati
satu-dua kali, dengan mobil kecil datang ke berbagai seminar -pernah bertiga
dengan Goenawan Mohammad. Kalau
tak salah, usulan karcis tol berlangganan muncul di sini. Karena seringnya
menggunakan jalan tol -terutama ke bandara, Gus Dur menuliskan atau mengusulkan
melalui surat
pembaca. Kadang kami menggoda dengan sengaja menanyakan nomor telepon
seseorang, yang dihapal Gus Dur di luar kepala, bahkan sambil tiduran sekali
pun. Tujuh angka bisa disebutkan, dan bukan hanya tujuh belas tokoh yang
ditanyakan. Kadang, Gus Dur ngomel, bukan karena dikerjai, melainkan karena
terganggu tidurnya.
Soal
tidur ini merupakan hal yang extraordinary betulan. Dalam sebuah diskusi teater
pada 1993, di mimbar panel diskusi, Gus Dur benar-benar tertidur sampai
mendengkur. Bahkan ketika sampai gilirannya, harus disenggol dan dibangunkan.
Tapi, ya itulah lakone, terbangun seketika, bisa menanggapi pembicara
sebelumnya dan tetap membuat pendengarnya tertawa. Saya ingat tahun itu, karena
itu saat saya keluar dari penjara. Adalah Gus Dur sendirian yang membela “kasus
Monitor”, yang menghebohkan, yang membuatnya “diadili” kaum ulama, tiga tahun
sebelumnya. Saya khusus menemui dan mengucapkan terima kasih, mencium
tangannya. Gus Dur menerima, seperti juga menerima salam dan ciuman tangan dari
yang lain, sambil terus jalan. Saya agak kecewa dan terucap.”Yaaah, Gus Dur
lupa sama saya….” Di tengah jalan menuju mimbar, Gus Dur berhenti dan berpaling:
“Kalau baumu, saya masih ingat…” Selalu ada yang mencengangkan dari sikap yang
biasa-biasa. Bagi saya, pembelaan Gus Dur sesuatu yang luar biasa, tapi bagi
Gus Dur itu selalu yang biasa, yang dilakukannya. Juga bukan hal yang pribadi
-karena yang dibela soal kebebasan berpendapat.
Soal
cium tangan ini Gus Dur kemudian sekali menolak. Bukan karena apa, melainkan
saat itu Gus Dur mulai sering cuci darah dan tangannya masih sakit terkena
infus. “Nanti saja kalau sudah sembuh.” Sayangnya, tangan kiri-kanan tak segera
membaik.
Tanggung
Jawab
Semasa
menjabat sebagai Presiden RI
pun gaya Gus
Dur tak banyak berubah. Masih selalu terbuka -dan ini tidak biasa- menerima
teman-teman seniman, di Istana Negara. Kadang pengawal direpotkan, karena para
tamu tidak tercantum namanya dalam daftar undangan. Kalaupun kemudian
dikonfirmasikan, ya tetap diterima. Kadang pertemuannya pun tak berbeda dengan
di luar Istana. Pernah waktu buka puasa bersama, Umar Kayam, almarhum, yang
waktu itu sudah agak sakit, duduk di kursi. Sementar Gus Dur duduk lesehan di
bawah. Pembicaraan tetap terbuka, berlangsung tanya jawab ke sana kemari dengan orang nomor satu di
republik ini.
Kadang
sedemikian terbuka. Dalam rangka menyambut Hari Anak, saya mewawancarai bersama
penyanyi cilik, Yoshua. Gus Dur bicara berapi-api, situasi politik sedang
memanas, dengan menyebut nama-nama tokoh lain. Saya berusaha mengingatkan.
“Gus, ini direkam, kamera tv masih nyala.” Jawabannya? “Sekarang menjadi
tanggung jawabmu. Kamu yang menentukan disiarkan atau tidak.”
Begitulah,
dengan gayanya, Gus Dur’s way, hal -hal yang mendasar ditularkan, dibagi, tanpa
ketegangan.
Terakhir
kali bertemu Gus Dur, di kediamannya di Ciganjur, saat berbuka bersama
anak-anak yatim piatu, dan saya diminta memberikan sambutan. Pada akhir acara,
Gus Dur memuji dan saya berbisik: “Gus, itu tadi kan dari tulisan Gus Dur. Saya sudah katakan
di depan, waktu Gus Dur belum datang.”
Masih
banyak kisah sesungguhnya dari Gus Dur, yang dialami siapa saja. Dengan segala
kearifan, kejenakaan -satu-satunya presiden di dunia yang memiliki koleksi
humor terbanyak dan diutarakan terbuka, menyapa, bahkan menghibur. Segala debu
segala batu pun akan bercerita, betapa sesungguhnya Gus Dur adalah berkah,
adalah kasih, bagi bangsa Indonesia, tanpa terbedakan agama, keyakinan, suku,
atau nama asal, atau pakaian yang dikenakan. Gus Dur adalah anugerah bagi
bangsa Indonesia
yang utuh, yang bisa disentuh.
Saya
lebih berharap saat ini Gus Dur sedang tidur tanpa dengkur, dan setiap saat
akan terbangun pada mereka -cantrik-cantriknya, santri-santri, anak didik- yang
memahami karunianya yang karismatis.
***Penulis adalah
budayawan.
Suara Pembaruan
Pidato di PBB dan Istana Rakyat
Gus
Dur dalam Kenangan
KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membaca sumpah jabatan saat dilantik menjadi Presiden RI
pada 21 Oktober 1999. Gus Dur adalah presiden ke-4 setelah menggantikan BJ
Habibie.
Banyak
kenangan yang tersisa di hati para wartawan yang meliput di Istana Kepresidenan
selama Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat presiden. Kenangan itu
masih melekat hingga kini.
Meliput
Istana Kepresidenan di era merupakan periode paling sibuk. Wartawan tidak
berani meninggalkan lokasi kalau belum yakin Gus Dur tidak akan menemui tamu
lagi. Jadwal Gus Dur padat karena tamu-tamunya beragam. Kadang-kadang beliau
sudah menerima tamu pukul 06.30 hingga malam hari. Bukan hal yang luar biasa,
kalau wartawan sudah di Istana pada pukul 07.00 dan baru meninggalkan istana
saat matahari tenggelam. Bahkan, beberapa kali hingga lewat tengah malam.
Walaupun
lelah mengikuti acaranya yang kesekian dalam sehari, wartawan tidak berani membiarkan
acara Gus Dur tidak diliput. Takut kecolongan berita. Bukan apa-apa, Gus Dur
sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan tak terduga. Pidato-pidato Gus Dur
dalam berbagai acara, yang sering menjadi berita spektakuler. Jadi, jangan
coba-coba membiarkan acara Gus Dur tidak diliput.
Pidato di PBB
Pidato
resmi ataupun dalam acara informal mesti dicermati. Gus Dur berbicara tanpa naskah
pidato karena kesehatan matanya terganggu. Ketika tampil di depan Majelis Umum
PBB di New York,
Gus Dur membuat banyak orang berdecak kagum. Gus Dur berpidato dalam bahasa
Inggris tanpa teks dalam waktu yang cukup lama, dengan gagasan yang mengalir
runut. Tanpa catatan kecil sekalipun, Gus Dur bisa berbicara lancar.
Pada
saat salat Jumat, ada warga yang berniat mendonorkan matanya untuk Gus Dur.
Dengan santun Gus Dur berterima kasih. “Saya tidak apa-apa dengan kondisi ini.
Kalau ingin mendonorkan mata, silakan ke Jakarta Eye
Center, Jalan Cik Di
Tiro. Saudara bisa mendonorkan untuk orang yang lebih membutuhkan.”
Selama
menjabat presiden, Gus Dur salat Jumat di tempat berbeda dalam sebulan. Ia
membaginya antara masjid di Istana Merdeka, depan rumahnya, dan masjid-masjid
lainnya di wilayah Jabotabek. Tujuannya, untuk memberikan kesempatan bagi
rakyat melontarkan pertanyaan, komentar, ataupun unek-unek.
Pernah
ketika salat Jumat di depan masjid depan rumahnya, khatib menyinggung soal
kerusuhan yang menurutnya disebabkan oleh pihak ketiga. Gus Dur, seperti biasa,
terlihat menganggukkan kepala bukan tanda setuju, melainkan tanda mengantuk.
Bahkan mungkin sudah tertidur pulas. Namun, begitu gilirannya, Gus Dur
merespons khotbah khatib tadi. Ia mengingatkan agar tidak gampang menyalahkan
orang atau menuding pihak ketiga kalau ada masalah. Gus Dur meminta agar semua
pihak tidak lagi meniru gaya
Orde Baru, yang suka mencari kambing hitam untuk ketidakbecusan menyelesaikan
masalah. Oh, rupanya Gus Dur tidak tidur.
Itulah sikap tegas Gus Dur. Siapa pun berani dikritiknya.
Keberanian dia juga terlihat ketika terjadi unjuk rasa Laskar Jihad ke Istana.
Ratusan anggota Laskar Jihad yang mengenakan jubah dan sorban putih
berdemonstrasi sambil membawa pedang. Mengetahui itu, Gus Dur justru mengundang
mereka masuk ke Istana. Jadilah beberapa perwakilan Laskar Jihad masuk ke
kompleks Istana Merdeka. Penampilan mereka yang menyeramkan karena membawa
senjata tajam tidak menyurutkan nyali Gus Dur. Beliau lebih suka berbincang dan
berdialog.
Banyak hal baru yang
dilakukan oleh Gus Dur. Apalagi
ketika itu, Gus Dur tinggal di Istana Merdeka. Praktis antara kediaman resmi
dan kantor menyatu di satu gedung.
Ia
menghendaki agar Istana Merdeka yang megah bisa didatangi rakyat biasa. Tak
heran kalau di era Gus Dur, tamu-tamu Istana bukan hanya orang yang mengenakan
setelan jas necis lengkap dengan dasi atau pakaian batik tulis halus, melainkan
juga rakyat jelata yang mengenakan sandal dan pakaian bersahaja. Hal ini
terlihat nyata, terutama ketika Gus Dur akan dimakzulkan. Pada hari-hari
terakhir Gus Dur di Istana, orang datang silih berganti. Dari petinggi NU,
politisi, aktivis, hingga ibu rumah tangga dan anaknya, datang memberi dukungan
dan doa bagi Gus Dur. Mereka diizinkan masuk oleh Paspamres karena sudah ada
imbauan dari dalam untuk tidak terlalu kaku. Itulah yang diinginkan Gus Dur. Ia
ingin yang substansial bahwa Istana Merdeka juga milik rakyat, bukan hanya
pejabat dan tamu-tamu elite. Itulah keinginan Gus Dur, membuat Istana Merdeka
bisa dijejaki oleh rakyatnya.
Ketika
Gus Dur akhirnya harus melepas kursinya, masyarakat penuh sesak di depan pagar
Jalan Merdeka Utara untuk mengiringinya keluar dari gerbang Istana Merdeka.
Salah
satu pengalaman yang menegangkan adalah saat Gus Dur berkeinginan untuk
mengeluarkan Dekrit Presiden pada Minggu tanggal 22 Juli 2001. Kondisi ketika
itu, mulai dari pukul 08.00 WIB, Istana Merdeka sudah banyak wartawan yang
hadir. Dengan beranjaknya waktu ke siang hingga malam hari, situasi di Istana
juga ikut memanas.
Dukungan
dari warga kepada Gus Dur yang berdemo di Jalan Merdeka Utara, makin siang juga
jumlahnya makin banyak. Jumlah tersebut tidak berkurang hingga malam hari.
Situasi bertambah tegang, pada malam harinya, banyak tokoh-tokoh pendukung Gus
Dur hadir ke Istana. Ketegangan itu masih terbawa hingga dini hari, pada hari
berikutnya. Karena para menteri dipanggil ke Istana Merdeka. Paling tidak,
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Agum Gumelar, sekitar pukul 01.00 WIB
keluar dari Istana Merdeka dengan wajah tegang dan berusaha menghindar dari
kejaran wartawan.
Seperti
telah tercatat dalam sejarah, pada Senin, tanggal 23 Juli 2001 dini hari, Gus
Dur mengeluarkan Maklumat Presiden. Wartawan mendapat isi lengkap maklumat
tersebut dari Juru Bicara Kepresidenan Yahya Staquf, yang membacakannya ketika
itu. Maklumat tersebut, antara lain adalah membekukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat. [SP/Marcellus Widiarto dan Yohanna
Ririhena]
Suara Pembaruan
Konsisten hingga Akhir Hayat
Peti
jenazah KH Abdurrahman Wahid diturunkan dari pesawat Hercules TNI AU, seusai
mendarat di Bandara Internasional Djuanda, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (31/12).
Tak
salah bila banyak orang menilai pemikiran KH Abdurrahman Wahid yang akrab
disapa Gus Dur melampaui pemikiran orang kebanyakan pada masanya. Pemikiran Gus
Dur kerap jauh melintasi ruang dan waktu. Konsistensinya dalam menegakkan
kehidupan demokrasi, menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme, memihak kelompok
minoritas, serta aktif memantau perkembangan dunia, tetap terjaga hingga akhir
hayatnya.
Buktinya,
beberapa jam sebelum mengembuskan napas terakhir pada Rabu (30/12) pukul 18.45
WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Gus Dur masih meminta
orang dekatnya membacakan berita dari majalah Gatra tentang pemilu di Cile dan
kondisi Israel.
“Sekitar
jam 12 siang, Bapak meminta saya membacakan berita dari majalah Gatra,” kata
Bambang Susanto yang menemani Gus Dur pada saat-saat terakhir.
Saat
itu Gus Dur dirawat di kamar A 116 RSCM, karena kondisi kesehatannya menurun
setelah berziarah di Jombang, Jawa Timur. Presiden keempat RI itu masuk RSCM
sejak Sabtu (26/12). Dalam kamar itu hanya ada putri bungsunya, Inayah
Wulandari, asisten pribadi Sulaiman, dua pengawal pribadi, serta Bambang
Susanto sendiri.
Tiba-tiba,
kata Bambang, Gus Dur mengeluh sakit di bagian paha ke bawah dan minta dipijat.
Kondisi kesehatan Gus Dur terus menurun sehingga harus dibawa ke gedung
Pelayanan Jantung Terpadu RSCM di lantai lima
atrium dua untuk keperluan tindakan medis. Di dalam ruang perawatan itu hanya
ada tim dokter yang dipimpin Yusuf Misbach. Tak ada seorang pun anggota
keluarga di ruangan itu, termasuk istri Gus Dur, Sinta Nuriyah yang tiba di
RSCM pukul 12.30 WIB.
“Agak
sore, dokter meminta tambahan darah golongan O. Sekitar pukul setengah lima, Bapak masih meminta
audio book, saya pikir keadaan Bapak sudah enakan. Namun, sekitar pukul enam
sore, dokter Yusuf mengatakan kondisi Bapak kritis karena tekanan darah drop,”
katanya.
Dalam
kondisi yang kritis itu, sekitar pukul 18.15 WIB, hanya Presiden SBY ditemani
menantu Gus Dur, Dhohir Farisi, bersama tim dokter, yang berada di kamar
tersebut. “Saya tidak tahu kejadian dalam ruangan itu, karena yang ada hanya
Presiden SBY, menantu Gus Dur, dan tim dokter,” ujar Bambang. Akhirnya, pada
pukul 18.45 WIB, Gus Dur meninggalkan dunia untuk selamanya.
Islah
dengan Soeharto
Salah
satu yang menonjol dari kehidupannya Gus Dur adalah perseteruannya dengan
mantan Presiden Soeharto.
Menjelang
Muktamar ke-29 NU pada 1994 di Tasikmalaya, Jabar, Gus Dur menominasikan diri
untuk masa jabatan ketiga. Pencalonan ini ditentang Soeharto dengan menolak
disambut dan bersalaman dengan Gus Dur pada prosesi pembukaan muktamar.
Pascamuktamar, dimana Gus Dur tetap terpilih sebagai Ketua Umum PBNU,
perseteruan keduanya semakin meruncing.
Dua
tahun kemudian, para ulama sepuh mencoba mencari jalan untuk mencairkan
hubungan Gus Dur dengan Soeharto. Dalam Munas Asosiasi Pondok Pesantren se Indonesia di
Ponpes Zainul Hasan, Genggong, Pajarakan, Probolinggo, keduanya akhirnya saling
berjabatan tangan pertanda islah. (SP/Aries Sudiono/Anselmus Bata).
Suara Pembaruan
Tokoh Dialog Antarumat Beragama
Istri
mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Sinta Nuriyah dikawal petugas saat
mengiringi jenazah Gus Dur ke mobil jenazah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta Pusat, Rabu (30/12). Gus Dur meninggal dunia karena sakit.
[JAKARTA] Kepergian KH
Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur telah menimbulkan duka yang
mendalam bagi bangsa ini. Gus Dur adalah sosok pemimpin, bangsawan, dan tokoh
bangsa yang tidak ada duanya.
“Gus
Dur adalah bapak dialog antaragama internasional, khususnya tiga agama Abraham,
yakni Islam, Kristen, dan Yahudi. Dia tidak pernah ragu membela yang lemah dan
didiskriminasi. Contohnya, dia menjadi pembela ulung bagi etnis Tionghoa dan
akhirnya menjadikan Imlek sebagai hari nasional. Dia adalah bapak kultural yang
humanis, nasionalis dan demokratis,” ujar rohaniwan Mudji Sutrisno di RS Cipto
Mangunkusumo (RSCM), beberapa saat setelah Gus Dur mengembuskan nafas terakhir
pada pukul 18.45 WIB, Rabu (30/12).
Gus
Dur yang pada beberapa waktu terakhir rutin mencuci darah di RSCM, tiga kali
seminggu, sebelumnya kembali menjalani perawatan inap seusai pulang dari
rangkaian kegiatan di Jawa Timur. Ketua tim dokter yang menangani Gus Dur,
Yusuf Misbach mengatakan, mantan Presiden
RI itu dirawat di RSCM sejak
Sabtu (26/12).
Pada
Senin (28/12), Gus Dur harus menjalani pencabutan gigi untuk mengurangi dan
mengantisipasi infeksi, karena dia menderita diabetes. Infeksi akan muncul jika
gigi yang bermasalah tersebut tidak dicabut.
“Gus
Dur juga menderita komplikasi dan gangguan pada pembuluh darah, jantung,
ginjal, serta diabetes. Pada Selasa (29/12), Gus Dur menjalani cuci darah
terakhir. Kondisinya menurun pada Rabu siang dan segera dibawa ke ruang
pelayanan intensif. Dia mengalami kritis sejak pukul 18.00 dan akhirnya Gus Dur
pergi untuk selamanya sekitar pukul 18.45 WIB,” kata anggota tim dokter Akmal
Taher.
Sebelumnya,
Gus Dur sempat dibesuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan beberapa
sahabat, keluarga, serta orang-orang dekatnya. Begitu banyak pejabat negara dan
tokoh-tokoh bangsa berduka dan melayat Gus Dur sejak dari RSCM hingga
kediamannya di Ciganjur.
“Saya datang untuk menyatakan
belasungkawa yang mendalam. Gus
Dur sangat pantas dijenguk banyak orang. Beberapa hari yang lalu, saya sempat
meminta maaf ke Gus Dur, jika selama ini pernah membuat kesalahan. Gus Dur
sosok yang luar biasa bagi saya,” kata Menkumham Patrialis Akbar.
Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, yang pernah tidak sepaham
dengan Gus Dur di PKB, juga datang melayat jenazah pamannya itu. Cak Imin,
demikian dia akrab disapa, tidak mau berkomentar.
Salah
satu Menteri muda di KIB II itu meneteskan air mata duka bagi Gus Dur, yang
sebelum meninggal sempat bersilaturahmi ke kediaman KH Mustofa Bisri di
Rembang, Jawa Tengah dan berziarah ke makam Nyai Fatah di Pesantren Bahrul
Ulum, Tambak Beras, Jombang.
Gus
Dur memiliki pendekatan dan kultur demokrasi yang khas. “Dia memperlakukan
Papua dengan hati dan bersuasana kultural. Bukan dengan kekuasaan, apalagi yang
represif. Masyarakat Papua pasti sangat merasa kehilangan,” kata tokoh muda
Papua Velix Wanggai. [EMS/O-1]
Suara Pembaruan
Gus Dur Pembela Kaum Lemah
Ratusan
aktivis kemanusiaan, bersama kaum Nahdliyin Yogyakarta, mengenang Gus Dur di
Tugu Yogyakarta, Kamis (31/12) dini hari.
Acara dipimpin Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY Mochamad Maksum.
[YOGYAKARTA] Sampai hari ini, belum ada tokoh yang mampu
menyamai mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), baik dari dalam
Nahdlatul Ulama (NU) maupun di luar NU. Sikap-sikap kritis Gus Dur yang selalu
bertolak belakang dengan pandangan umum, mencerminkan dedikasi Gus Dur untuk
perjuangan kemanusiaan.
Gus Dur
itu adalah pembela kaum lemah. “Di
saat pemerintahan Gus Dur, warga keturunan Tionghoa di Indonesia mendapatkan
tempat yang sama. Kong Hu Chu diakui sebagai salah satu agama resmi dan
perayaan Imlek tidak lagi dilangsungkan dengan sembunyi-sembunyi. Saya kira
masih banyak perjuangan Gus Dur yang tidak terlihat oleh kita. Tokoh-tokoh
Tionghoa merasa kehilangan, semua anak bangsa dan saya benar-benar merasa
kehilangan,” kata Ketua Pimpinan Wilayah NU DIY Mochamad Maksum, di Yogyakarta,
Kamis (31/12).
Kepergian
Gus Dur cukup menyentak masyarakat Indonesia sekaligus membangunkan
kesadaran bahwa perjuangan untuk menegakkan keadilan belum selesai. Sosok Gus
Dur yang penuh dengan kontroversi justru menjadikan bangsa ini akrab dengan
‘bahasa’ demokrasi, termasuk membuka seluruh saluran kebersamaan.
Seluruh
elemen masyarakat di Yogyakarta berduka dan untuk mewujudkannya, ratusan
masyarakat Rabu (30/12) malam menjelang Kamis (31/12) dini hari, berkumpul di
Tugu untuk merenung bersama, sekaligus menyalakan lilin dan tabur bunga.
Dipimpin
M Maksum, ratusan warga yang terdiri dari aktivis pergerakan ‘98, Forum
Persatuan Umat Beriman, komunitas masyarakat pinggiran hingga mahasiswa,
mengusung foto Gus Dur sekaligus memancangkan bendera setengah tiang.
Fenomenal
Prof.
Yusni Sabi, mantan Rektor IAIN Ar-Raniry mengatakan, sosok Gus Dur sangat
fenomenal. Pikiranya luwes, gagasannya cerdas, pola kepemimpinnya demokratis.
Pada masa kepemimpinannya, budaya Tionghoa diakui dan mampu mempersatukan
lintas agama. Dia juga memperjuangkan kebebasan dalam berekspresi.
Gus
Dur juga ikut merintis lahirnya perundingan untuk menyelesaikan konflik di Aceh
dengan mengirim utusan guna melakukan negosiasi dengan para petinggi GAM waktu
itu, katanya.
Warga
keturunan Tionghoa di Makassar, Sulawesi Selatan sangat kehilangan atas
kepergian Gus Dur, seorang tokoh yang dianggap sangat berjasa telah
memanusiakan warga keturunan. “Kami sangat berkabung atas wafatnya Gus Dur dan
merasa kehilangan tokoh yang paling berjasa yang telah memanusiakan kami,” ujar
Pieter Gozal, tokoh Tionghoa di Makassar. [152/147/148/WMO/141/142/
151/146/154/070/080/153/149]
Suara Pembaruan
Gus Dur Rela Dihujat demi Kerukunan
SP/Ignatius Liliek
Mantan
Presiden RI Ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersalaman dengan Bhante
Sukhemothera pada gelar doa bersama di Wahid Institute, Jakarta, Jumat (28/7/2006).
[JAKARTA] Sejumlah tokoh
lintas agama dan rakyat Indonesia
seluruhnya merasa kehilangan dengan wafatnya mantan Presiden KH Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur.
Mereka
menilai, Indonesia
sulit menemukan sosok seperti Gus Dur, yang rela dihujat demi membela kaum
minoritas dan mempertahankan kerukunan beragama. Banyak tokoh saat ini sangat
pragmatis dan sarat kepentingan politik subjektif, sesuatu yang jauh berbeda
dengan Gus Dur.
Romo
Benny Susetyo dari Konferensi Waligereja (KWI) kepada SP, Kamis (31/12),
mengatakan, bangsa ini telah kehilangan tokoh nasionalis tulen. Gus Dur adalah
sosok yang berani menghadapi risiko apa pun untuk membela dan mempertahankan
keindonesiaan yang pluralis. Gus Dur selalu memperjuangkan keadilan sosial bagi
kelompok minoritas.
“Tidak
hanya fenomenal, tetapi dia juga pemikir besar, brilian, dan punya cita-cita
agar Indonesia
menjadi negara yang besar, yakni negara yang menghargai perbedaan, dan potensi
yang ada,” kata Romo Benny.
Romo
yang mengaku mempunyai hubungan fundamental dengan Gus Dur ini mengatakan,
sulit bagi Indonesia
mendapatkan sosok pengganti seperti Gus Dur. Bagi Romo, pesan terakhir Gus Dur
yang paling berkesan adalah mencintai kaum fundamentalis, bukan memusuhinya.
“Fundamentalis harus dikasihani dan mendekati mereka,” kata Romo Benny,
mengutip pernyataan Gus Dur.
Ketua
Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Andreas Yewangoe mengatakan,
Gus Dur sosok yang selalu memperhatikan relasi dan kerukunan antarumat
beragama. Hal ini ditunjukkan dengan sikapnya yang selalu terbuka dengan
kelompok mana pun, tanpa diskriminasi.
“Gus pernah hadir di Sidang
Raya PGI di Palangka Raya. Ini
menunjukkan dia seorang nasionalis, tidak membeda-bedakan orang di negeri ini.
Bagi umat Kristen, dia relasi yang sangat baik,” ucapnya.
Gus
Dur juga, lanjutnya, adalah pembela bagi golongan yang dianggap kecil di negeri
ini. Baginya, demokrasi sejati adalah kaum minoritas memperoleh hak-haknya.
Bahkan,
sikapnya yang selalu kontroversial dalam membela kerukunan antarumat beragama
pun dikenal hingga dunia internasional. “Yang paling fenomenal ketika dia
membela agama Konghucu yang tidak diakui oleh pemerintahan kala itu. Ketika dia
menjadi presiden, Konghucu kemudian diakui sebagai salah satu agama di Indonesia,”
katanya.
Agamawan
Sejati
Jiwa
nasionalisme Gus Dur yang tinggi, lanjut dia, menurun dari ayahnya KH Wahid
Hasyim dan kakeknya KH Hasyim Asy’ari.
Sementara
itu, Ketua Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Abdul
Muhaimin mengatakan, bangsa ini kehilangan agamawan sejati. Dia dikenal sebagai
perekat agama, yang semangat spiritualnya tinggi untuk merangkum semua agama
dengan segala perbedaannya. “Saya rasa semua agama merasa kehilangan. Tetapi
ini juga pelajaran bagi kita semua untuk melanjutkan cita-citanya menciptakan
kerukunan,” katanya.
Menurut Abdul, Indonesia sulit menemukan sosok seperti
Gus Dur. Banyak tokoh sekarang ini yang pragmatis dan dipengaruhi oleh
kepentingan subjektif. Sangat berbeda dengan Gus Dur yang rela dihujat demi
membela kelompok lain, terutama kaum minoritas dan mempertahankan kerukunan
beragama.[D-13]
Suara Pembaruan
Gus Dur, Tokoh Politik yang Sangat Berbudaya
Gus
Dur menunjukkan buku berjudul “Gus Dur Bertutur” seusai peluncuran buku
tersebut di Semarang,
beberapa tahun yang lalu.
[JAKARTA] Di mata
budayawan Butet Kertaradjasa, Gus Dur adalah sosok yang luar biasa. Bahkan,
Butet menyebut Gus Dur sebagai se- orang sufi karena mampu mengolok-olok dan
menertawakan diri sendiri. Sesuatu yang jarang bisa dilakukan orang lain.
“Beliau
memang sosok yang humoris sekali. Humor tertinggi adalah saat sese- orang bisa
menertawakan diri sendiri. Itu sudah sekelas sufi. Dan, Gus Dur sudah pada
tingkat itu. Ia bisa menciptakan kejenakaan dengan mengolok-olok dirinya
sendiri. Itu menunjukkan kematangan jiwa seseorang,” tutur Butet kepada SP,
Kamis (31/12).
Selain
itu, Butet juga mengaku kagum akan semangat Gus Dur menjunjung tinggi
pluralisme, menghargai, dan menghormati keragaman di Indonesia. Apalagi, ia melanjutkan,
salah satu ciri kebudayaan Indonesia
adalah keberagaman itu sendiri. “Gus Dur adalah penjaga nilai spirit pluralisme
yang diamanatkan pendiri bangsa ini,” katanya.
Selama menjadi budayawan,
Butet mengaku kerap bertemu dan bersinggungan dengan Gus Dur. Bahkan tak jarang, Butet
melontarkan guyonan tentang Gus Dur dalam pentas monolog yang dihadiri oleh
sang mantan presiden itu. Bukannya tersinggung, Gus Dur malah tertawa karena
beliau juga menyukai humor.
Oleh
karena itu, Butet merasa sosok Gus Dur haruslah diteladani banyak pihak,
terutama para birokrat dan politikus Indonesia. “Namun, saya yakin,
kader-kader Gus Dur, yakni para intelektual muda NU juga mengusung semangat
pluralisme. Saya tidak cemas atau khawatir karena Gus Dur menyisakan warisan
berupa kader-kader yang bisa menjunjung semangat pluralisme. Kita masih ada Gus
Mus, Ulil, Muslim Abdurrahman, Komarudin Hidayat, Yudi Latief, orang-orang
Islam yang moderat,” kata Butet.
Berbeda
Sementara
itu, seniman kawakan Indonesia, Slamet Rahardjo Djarot menjelaskan, seperti
halnya Presiden pertama RI, Soekarno, Gus Dur membuat dirinya berbeda dengan
para politisi bangsa Indonesia saat ini karena dia seorang budayawan.
“Artinya,
sebagai seorang budayawan, Gus Dur memiliki jiwa seni dan sosial yang tinggi.
Sehingga, ketika dia terjun ke dunia politik, beliau mewarnai semuanya itu
dengan kekayaan berkesenian yang beliau miliki dan dalami. Lahirnya pluralisme,
merupakan salah satu keputusan Gus Dur sebagai seorang budayawan yang
berpolitik. Harus diakui, soal pluralisme ini, merupakan langkah berani Gus Dur
dalam mengambil risiko,” kata Slamet.
Lebih
lanjut, pemain film, teater, dan sutradara ternama Indonesia menambahkan,
segala kepiawaian yang dimiliki Gus Dur, khususnya untuk bangsa ini, tidak bisa
dilepaskan dari kehidupan beliau dari sisi budaya yang tentunya sangat
mengedepankan keindahan. “Yang jelas, di mana ada krisis, di situ ada Gus Dur
sebagai sang penyelamat. Di mana ada ketidakadilan di situ ada Gus Dur sebagai
sang pengadil,” ujarnya.
Kematian itu, kata Slamet,
adalah keniscahyaan. Jarang
sekali ada orang yang meninggal secara terhormat seperti Gus Dur. Maka,
banggalah keluarga punya ayah dan suami yang sangat berjasa buat negara.
[D-10/F-4].
Firasat Gus Dur Sebelum Wafat
Kamis, 31/12/2009 | 04:55 WIB FIRASAT wafatnya Gus Dur sudah
terasa sejak Gus Dur berziarah terakhir ke makam kakek dan ayahnya di Tebu
Ireng, Jombang. Adik kandung Gus Dur KH Salahudin Wahid yang juga pengasuh
Ponpes Tebu Ireng mengaku dirinya sudah diberi sinyal dan firasat saat Gus Dur
ke Jombang.
“Gus
Solah bercerita pada kami beberapa hari lalu di kediamannya. Gus Solah kaget
dan heran tiba-tiba Gus Dur bilang, ‘dik mengko
tanggal 31 jemputen aku nang kene‘ (Dik, nanti tanggal 31 jemput
saya di sini,” kata salah satu ketua PP GP Ansor Maskut yang mendapat cerita
dari Gus Solah, Kamis (31/12).
Menurut
Maskut, Gus Solah juga sudah merasa tidak enak saat Gus Dur memanggil dirinya
dengan sebutan ‘dik’ (adik). Sebab, selama ini panggilan Gus Dur kepada Gus
Solah selalu ‘Los’ kebalikan dari ‘Sol’ panggilan akrab Salahuddin Wahid sejak
kecil.
“Gus
Solah juga mengaku rasa herannya saat Gus Dur memanggil dirinya dengan ‘dik’.
Padahal seumur-umur kalau memanggil Gus Solah dengan ‘Los’. Atau memanggil Gus
Umar dengan pangilan ‘Ram’, kebalikan Mar,” paparnya.
Pernyataan
Gus Dur ini dimaknai Gus Solah sebagai bentuk wasiat. Karena itu sejak awal,
Gus Solah menegaskan bahwa bani Hasyim memang kalau meninggal dimakamkan di
Tebu Ireng. Apalagi tokoh sekaliber Gus Dur.
Dipanggil
Mbah Hasyim
Sebelum
menghembuskan nafasnya yang terakhir, Gus Dur sempat memberi tahu putri
pertamanya Alissa Qatrunnada bahwa dirinya dipanggil Kakeknya, Hasyim Asy’ari.
Alissa pun mengaku tak tahu arti cerita ayahnya. “Memang waktu bapak di
Jombang, bapak bilang sama saya. ‘Saya kok merasa dipanggil oleh Mbahmu, Hasyim
Asy’ari. Saya nggak tahu apa ini artinya itu,” ujar putri pertama Gus Dur,
Alissa Qatrunnada.
Hal
itu disampaikan Alissa saat jumpa pers di kediaman Gus Dur, Jl Warung Sila X,
Ciganjur, Jakarta Selatan, Kamis (31/12) pukul 00.20 WIB.
Alissa
menambahkan proses Gus Dur sakaratul maut hingga menghembuskan nafas terakhir
sangat cepat dan lancar. “Proses bapak meninggal Alhamdulilah sangat cepat dan
lancar. Dan saat itu didampingi ibu (Shinta Nuriyah), Mbak Inayah (Inayah
Wulandari, putri terakhir Gus Dur) dan Faris (Dhohir Farisi, menantu Gus Dur
dan suami Yenny Wahid),” ungkap putri Gus Dur ini.
Peci
‘Presiden RI’
Salah satu peninggalan
penting Gus Dur adalah kopiah yang terbuat dari akar-akaran bertuliskan
‘Presiden RI’ dan ‘Gus Dur’. Gus
Dur sangat sering mengenakan kopiah ini saat menjadi Presiden. Peci ini
diberikan Gus Dur diberikan kepada Abdul Mudjib Manan dengan disertai surat bermaterai.
Abdul
Mudjib Manan adalah kawan lama Gus Dur saat kuliah di Universitas Al Azhar,
Kairo, Mesir. Pada tahun 2001, Gus Dur menarik Abdul Mudjib ke Jakarta dan dijadikan sebagai Sekretaris
Presiden. Abdul Mudjib mendampingi Gus Dur hingga masa-masa terakhir Gus Dur
berada di Istana Merdeka.
Sebagai
kenang-kenangan, Gus Dur memberikan kopiah ‘Presiden RI’
kepada Abdul Mudjib tak lama setelah lengser. Peci ini sangat bersejarah,
karena dipakai Gus Dur saat mengumumkan dekrit Presiden RI
tentang pembubaran DPR dan Partai Golkar.
Sebagai
otentifikasi terhadap pemberian kopiah itu, Gus Dur menuliskan surat penyataan yang ia tandatangani pada 24
Juli 2001, saat yang sama ketika Gus Dur meninggalkan Istana.
Dalam
selembar surat
bermaterai Rp 6.000 itu, Gus Dur menyatakan telah memberikan peci kepada Abdul
Mudjib Manan. Di surat tersebut ditulis
ciri-ciri peci tersebut antara lain: terbuat dari bahan sejenis akar-akaran, di
kedua sisi tertulis Gus Dur dan Presiden
RI. Dalam surat
disebutkan juga “Peci tersebut saya pakai pada saat dibacakan dekrit Presiden RI
pada tanggal 23 Juli 2001″.
“Jadi
kita tidak mengaku-aku, karena ini ada surat penyataan yang langsung
ditandatangani Gus Dur,” kata Achmad Seno Aldinata, putra kedua Alm Abdul
Mudjib Manan, saat ditemui detikcom di rumahnya, di Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu
(30/12/2009) malam.
Hingga
saat ini, Seno dan keluarganya masih menjaga dan merawat kopiah tersebut. Abdu
Mudjib Manan yang telah meninggal dunia pada 2006 lalu juga telah mewasiatkan
kepada keluarganya untuk menjaga benar-benar kopiah tersebut.
Berikut
surat Gus Dur
kepada Abdul Mudjib selengkapnya:
SURAT PERNYATAAN
Yang
bertanda tangan di bawah ini:
Nama : KH Abdurrahman Wahid
Pekerjaan: mantan Presiden RI ke IV
Alamat: Jalan Warung Sila, Gg Munawaroh, Ciganjur-Jakarta
Menyatakan
bahwa saya telah memberikan sebuah peci kepada:
Nama: Abd Mudjib Manan
Pekerjaan: – mantan Sekretaris Presiden RI
-
Dosen Fakultas Dakwan IAIN Sunan Ampel Surabaya
Alamat:
Makarya, Binangun Blok G no 17, Waru Sidoarjo
Adapun ciri-ciri peci tersebut, antara lain:
1. Terbuat dari bahan sejenis akar-akaran
2. Di kedua sisinya bertuliskan ‘ Gus Dur Presiden
Republik Indonesia’
3. Peci tersebut saya pakai pada saat pengumuman Dekrit
Presiden RI pada tanggal 23 Juli 2001
Demikian
pernyataan surat ini saya buat untuk digunakan seperlunya
Jakarta, 24 Juli 2001
Yang
menyatakan
materai+ttd
KH
Abdurrahman Wahid
Biografi
Gus Dur
Abdurrahman
Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur menjabat Presiden ke-4 RI mulai 20 Oktober
1999 hingga 24 Juli 2001. Beliau lahir tanggal 4 Agustus 1940 di desa Denanyar,
Jombang, Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya
adalah seorang pendiri organisasi besar Nahdlatul Ulama, yang bernama KH. Wahid
Hasyim. Sedangkan Ibunya bernama Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren
Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Dari perkawinannya dengan Sinta Nuriyah,
mereka dikarunia empat orang anak, yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba
Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari .
Sejak
masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan
perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu beliau juga aktif berkunjung
keperpustakaan umum di Jakarta.
Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan
buku-buku. Di samping membaca, beliau juga hobi bermain bola, catur dan musik.
Bahkan Gus Dur, pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi.
Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop.
Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah
sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri
Festival Film Indonesia.
Masa
remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua
tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya,
Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian
melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah
melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur.
Perkawinannya dilaksanakan ketika Gus Dur berada di Mesir.
Sepulang
dari pengembaraannya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih
menjadi guru. Pada tahun 1971, beliau bergabung di Fakultas Ushuludin
Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian beliau menjadi sekretaris
Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis.
Beliau kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat
tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian
banyak.
Pada
tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di
Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai
sering mendapatkan undangan menjadi nara
sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam
maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di
LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek
pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh
LP3ES.
Pada
tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta.
Mula-mula beliau merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980
Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat
dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan
politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur
semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan
kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap `menyimpang`-dalam
kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang
cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn
1983. Beliau juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun
1986, 1987.
Pada
tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-`aqdi
yang diketuai K.H. As`ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU
pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada
muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung
Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur
menjabat presiden RI ke-4. Selama menjadi presiden, tidak sedikit pemikiran Gus
Dur kontroversial. Seringkali pendapatnya berbeda dari pendapat banyak orang.